BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Faktor
lingkungan memegang peranan penting dalam mendukung usaha pembesaran ikan dalam
KJA yang berkelanjutan. Selain memenuhi persyaratan untuk pertumbuhan dan
perkembangan ikan yang dipelihara, juga sarana dan prasarana pendukung harus
tersedia secara memadai serta sosial ekonomi masyarakat yang kondusif.
Permintaan ikan-ikan karang
khususnya kerapu dan lobster terus meningkat seiring dengan semakin membaiknya
perekonomian dan meningkatnya minat masyarakat untuk mengkonsumsi ikan-ikan
karang. Harga yang cukup tinggi dan akses pasar yang cukup lancar, mendorong
usaha penangkapan ikan-ikan karang berkembang demikian pesat. Namun demikian,
rendahnya penguasaan teknologi dan sarana penangkapan yang dimiliki nelayan,
mengakibatkan hasil tangkapan sangat rendah. Berbagai upaya telah dilakukan
untuk meningkatkan hasil tangkapan, di antaranya melalui peningkatan intensitas
tangkap, penggunaan bahan peledak, racun sianida dan tindakan-tindakan
destruktif lainnya. Intensitas penangkapan yang tinggi disertai penggunaan
bahan-bahan berbahaya dan beracun, tidak hanya menimbulkan tekanan pada
populasi ikan yang terdapat di alam, melainkan juga dapat merusak lingkungan,
seperti rusaknya terumbu karang dan padang lamun yang menjadi habitatnya,
sehingga kapasitas daya dukung lingkungan menurun.
Berkembangnya usaha
pembesaran ikan dalam KJA selain berpengaruh pada aspek sosial ekonomi dan
budaya masyarakat, juga berdampak pada aspek lingkungan baik yang bersifat
positif maupun negatif, langsung maupun tidak langsung. Walaupun ikan-ikan
karang termasuk sumberdaya dapat pulih (renewable resources), tidak berarti
bahwa sumberdaya ini dapat dieksploitasi secara berlebihan, apalagi dengan
cara-cara yang merusak. Ketika upaya eksploitasi (fishing effort) lebih besar
dari pada tangkapan optimum (Maximum Sustainable Yield, MSY), akan terjadi
pemanfaatan yang berlebihan (over exploitated). Gejala tangkap lebih
(overfishing) yang disertai menurunnya daya dukung lingkungan dapat mengancam
kapasitas keberlanjutan ikan-ikan ekonomis dan bahkan dapat terjadi kepunahan.
Gejala tangkap lebih umumnya terjadi di wilayah pesisir yang padat penduduknya
dengan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya pesisir dan laut.
Kerusakan wilayah pesisir
juga dapat disebabkan oleh berbagai aktivitas nelayan maupun proses-proses
alamiah baik yang terdapat di lahan atas (upland areas) maupun laut lepas
(oceans). Sifat sumberdaya pesisir yang merupakan sumberdaya milik bersama
(common proverty resources), aksesnya bebas dan terbuka. Sumberdaya yang
terkandung di dalamnya dapat dieksploitasi secara bebas oleh semua orang (open
access), sehingga wilayah pesisir sangat rentan dari kerusakan.
Untuk memanfaatkan
sumberdaya pesisir dan laut secara optimal dan berkelanjutan, perlu didukung
dengan kebijakan yang mampu memperbesar dampak positif dan sekecil mungkin
dampak negatif.
Analisis aspek lingkungan
usaha pembesaran ikan dalam keramba jaring apung (KJA) bertujuan menganalisis
dan mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan yang berperan dalam mendukung
usaha pembesaran ikan dalam KJA yang meliputi :
-
Kesesuaian lokasi,
-
Ketersediaan sarana produksi dan pendukung
-
Persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap
lingkungan, dan
-
Peluang usaha dan kesempatan kerja yang
tersedia sebagai dampak usaha pembesaran ikan dalam KJA.
B. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan
Analisis aspek lingkungan usaha
pembesaran ikan dalam keramba jaring apung (KJA) bertujuan menganalisis dan
mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan yang berperan dalam mendukung usaha
pembesaran ikan dalam KJA meliputi :
·
Kesesuaian lokasi
·
Ketersediaan sarana produksi dan pendukung
·
Persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap
lingkungan, dan
·
Peluang usaha dan kesempatan kerja yang
tersedia sebagai dampak usaha pembesaran ikan dalam KJA
2.
Manfaat
Hasil analisis ini diharapkan bermanfaat:
·
Sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan
kebijakan investasi, skim kredit, infra struktur, kelembagaan dan hukum serta
penelitian dan penyuluhan
·
Bahan acuan bagi masyarakat dan swasta dalam
mengembangkan sistem usaha pembesaran ikan dalam KJA yang berkelanjutan
·
Menambah khasanah ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam mengetahui kelayakan suatau perairan untuk budidaya KJA di laut.
BAB
II
PEMBAHASAN
Guna
memperoleh suatu perairan yang layak untuk kegiatan budidaya KJA di laut
memerlukan pemilihan lokasi yang tepat dengan memperhatikan beberapa aspek
antara lain :
A.
Aspek
Resiko
Adapun
faktor-faktor resiko yang harus diperhatikan dalam pemilihan lokasi untuk
kegiatan budidaya KJA di lau antara lain:
1.
Faktor
Pencemaran
Dalam memilih lokasi yang
tepat untuk kegiatan budidaya KJA di laut harus memperhatikan faktor pencemaran
baik dari kegiatan budidaya itu sendiri maupun kegiatan lain yang akan
menimbulkan pencemaran sehingga akan mengganggu aktifitas budidaya di KJA.
Dalam dunia perikanan, yang
dimaksud dengan pencemaran perairan adalah penambahan sesuatu berupa bahan atau
energi ke dalam perairan yang menyebabkan perubahan kualitas air sehingga
mengurangi atau merusak nilai guna air dan sumber air perairan tersebut.
Bahan pencemar yang biasa
masuk kedalam suatu badan perairan pada prinsipnya dapat dikelompokkan menjadi
dua yaitu bahan pencemar yang sulit terurai dan bahan pencemar yang mudah
terurai. Contoh bahan pencemar yang sulit terurai berupa persenyawaan logam
berat, sianida, DDT atau bahan organik sintetis. Contoh bahan pencemar yang
mudah terurai berupa limbah rumah tangga, bakteri, limbah panas atau limbah
organik. Kedua jenis bahan pencemar tersebut umumnya disebabkan oleh kegiatan
manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyebab kedua adalah keadaan
alam seperti : banjir atau gunung meletus.
Jika lokasi budidaya
mengandung bahan pencemar maka akan berpengaruh terhadap kehidupan ikan yang
dipelihara didalam wadah budidaya ikan tersebut.
2.
Faktor
Keamanan (savety)
Lokasi budidaya KJA di laut
harus terhindar dari hal-hal yang dapat menimbulkan gangguan keamanan baik
pencurian maupun gangguan dari hama seperti hama competitor (penyaing),
predator (pemangsa), dan perusak yang dapat mengganggu keamanan biota budidaya.
Selain itu lokasi KJA juga
harus aman dari kondisi gelombang yang besar karena jika gelombang terlalu
besar maka akan menimbulkan kerusakan pada KJA. Lokasi yang memiliki gelombang
yang tidak terlalu besar saperti pada daerah teluk.
3.
Arus
Adanya arus di laut
disebabkan oleh perbedaan densitas masa air laut, tiupan angin terus menerus
diatas permukaan laut dan pasang-surut terutama di daerah pantai (Raharjo dan
Sanusi, 1983 dalam Satriadi dan Widada, 2004). Pasang surut juga dapat
menggantikan air secara total dan terus menerus sehingga
Arus mempunyai pengaruh
positif dan negatif bagi kehidupan biota perairan. Arus dapat menyebabkan
ausnya jaringan jazad hidup akibat pengikisan atau teraduknya substrat dasar
berlumpur yang berakibat pada kekeruhan sehingga terhambatnya fotosintesa. Pada
saat yang lain, manfaat dari arus adalah menyuplai makanan, kelarutan oksigen,
penyebaran plankton dan penghilangan CO2 maupun sisa-sisa produk biota laut
(Beverige, 1987 ; Romimohtarto, 2003). Kenyataan yang tidak dapat ditoleransi
terhadap kuat maupun lemahnya arus akan menghambat kegiatan budidaya laut
(Ghufron dan Kordi, 2005). Arus juga sangat penting dalam sirkulasi air, pembawa
bahan terlarut dan padatan tersuspensi (Dahuri, 2003), serta dapat berdampak
pada keberadaan organisme penempel (Akbar et al, 2001). Kecepatan arus perairan
untuk budidaya keramba jaring apung di laut tidak boleh lebih dari 100 cm/detik
(Gufron dan Kordi, 2005) dan kecepatan arus bawah 25 cm/dt.
4.
Kedalaman
perairan keramba jaring apung
Menurut Wibisono, (2005) menyatakan bahwa kedalaman suatu
perairan didasari pada relief dasar dari perairan tersebut. Perairan yang
dangkal kecepatan arus relatif cukup besar dibandingkan dengan kecepatan arus
pada daerah yang lebih dalam (Odum, 1979). Semakin dangkal perairan semakin
dipengaruhi oleh pasang surut, yang mana daerah yang dipengaruhi oleh pasang
surut mempunyai tingkat kekeruhan yang tinggi. Kedalaman perairan berpengaruh
terhadap jumlah dan jenis organisme yang mendiaminya, penetrasi cahaya, dan
penyebaran plankton. Dalam kegiatan budidaya variabel ini berperanan dalam
penentuan instalasi budidaya yang akan dikembangkan dan akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh kegiatan tersebut.
Kedalaman perairan merupakan faktor yang diperlukan dalam
kegiatan baik terhadap organisme yang membutuhkan kedalaman rendah sampai cukup
dalam. Beberapa biota seperti rumput laut membutuhkan perairan yang tidak
terlalu dalam dibandingkan dengan budidaya ikan kerapu dan tiram mutiara. Ikan
kerapu sangat tergantung dari pakan buatan (artificial food), maka untuk
menjaga terakumulasinya sisa pakan pada dasar perairan, diharapkan ada
perbedaan jarak antara dasar perairan dengan dasar jaring. Akumulasi yang
terjadi berupa proses dekomposisi dari sisa pakan yang menghasilkan senyawa
organik. Kedalaman yang dianjurkan adalah berkisar 5-25 meter (Deptan, 1992 ;
DKP, 2002)
5. Konflik Kepentingan
Konflik kepentingan. Pemilihan lokasi sebaiknya tidak
menimbulkan konflik dengan kepentingan lain. Beberapa kegiatan perikanan
(penangkapan ikan, pemasangan bubu, dan bagan) serta kegiatan bukan perikanan
(pariwisata, perhubungan laut, industri dan taman laut) dapat dipengaruhi
negative terhadap aktifitas budidaya laut.
6. Dasar Perairan
Kondisi dasar perairan akan sangat berpengaruh terhadap
kualitas air
diatasnya.
Dasar perairan yang mengalami pelumpuran, bila terjadi gerakan air oleh arus
maupun gelombang akan membawa partikel dasar ke permukaan (Upwelling)
yang akan menyebabkan kekeruhan, sehingga penetrasi cahaya matahari menjadi
berkurang dan partikel lumpur ini berpotensi menutup insang ikan. Arus air
sangat membantu pertukaran air dalam keramba, membersihkan timbunan sisa-sisa
metabolism ikan dan membawa oksigen terlarut yang dibutuhkan ikan. Sebaliknya
apabila kecepatan arus tinggi akan sangat berpotensi merusak konstruksi keramba
serta dapat menyebebkan stress pada ikan, selera makan ikan akan berkurang dan
energi banyak yang terbuang (Achmad 2008).
Substrat dasar berpengaruh terhadap jenis hewan dasar
yang hidup pada daerah tersebut. Kehidupan biota sesuai dengan habitatnya,
dimana pada substrat yang keras dihuni oleh hewan yang mampu melekat dan pada
substrat yang lunak dihuni oleh organisme yang mampu membuat lubang (Odum,
1979). Substrat dasar suatu lokasi bervariasi dari bebatuan sampai lumpur dapat
berpengaruh terhadap instalasi budidaya, pertukaran air, penumpukan hasil
metabolisme dan kotoran (Rejeki, 2001).
Menurut Dahuri (2003) mengatakan bahwa substrat juga
berperan dalam menjaga stabilitas sedimen yang mencakup perlindungan dari arus
air dan tempat pengolahan serta pemasukan nutrien. Jenis dan ukuran substrat
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kandungan bahan organik dan distribusi
bentos. Semakin halus tekstur tersebut semakin tinggi kemampuan untuk menjebak
bahan organik (Nybakken, 1992).
Substrat dasar perairan yang baik untuk lokasi budidaya
adalah gugusan wilayah perairan yang sesuai habitat masing- masing organisme. Substrat
dasar yang cocok untuk budidaya tiram adalah gugusan terumbu karang atau karang
berpasir. Sedangkan untuk ikan kerapu dan rumput laut akan cocok pada substrat berpasir
dan pecahan karang (Bakosurtanal, 1996; Radiarta et al, 2003).
7. Kesesuaian Lingkungan
Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah,
iklim, relief, hidrologi dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut
mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk didalamnya akibat dari kegiatan
manusia, baik pada masa lalu maupun pada masa sekarang seperti reklasi
daerah-daerah pantai, penebangan hutan dan akibat-akibat yang merugikan seperti
erosi dan akumulasi garam Faktor-faktor sosial dan ekonomi secara murni tidak
termasuk dalam konsep lahan ini (Harjowigeno dan Widiatmaka 2001).
Kesesuaian lahan adalah kecocokan (adaptability)
suatu lahan untuk tipe penggunaan lahan tertentu. Penggunaan lahan secara umum
adalah penggolongan penggunaan lahan seperti pertanian tadah hujan, pertanian
beririgasi, padang rumput, kehutanan atau daerah rekreasi. Perkembangan
penguasaan dan penggunaan lahan erat kaitannya dengan perkembangan populasi
manusia dan tingkat kebudayaannya dalam upaya manusia mempertahankan
kehidupannya.
Perubahan penggunaan lahan yang tidak terkontrol dapat
mengakibatkan terganggunya ekosistem di suatu wilayah apalagi bila wilayah
tersebut merupakan pulau kecil. Dalam aktivitas budidaya laut istilah
kesesuaian lahan dipadankan dengan kesesuaian perairan, secara umum kualitas
perairan untuk budidaya laut dan pariwisata dianalisis dengan menggunakan
pedoman pada baku mutu air laut yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan
Hidup melalui SK Menteri Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004, dapat dilihat pada
Tabel 1
Tabel
1. Baku Mutu Air Laut untuk Budidaya
No.
|
Parameter
|
Satuan
|
Budidaya Laut
|
1
|
Kecerahan
|
M
|
Coral:>5a)
mangrove; -
lamun: >3a)
|
2
|
Suhu
|
0C
|
alami1b)
|
3
|
Salinitas
|
0/00
|
alami1c)
|
4
|
pH
|
Mg/l
|
7 – 8,5
|
5
|
DO
|
Mg/l
|
>5
|
6
|
Nitrat
|
Mg/l
|
0,008
|
7
|
Fosfat
|
Mg/l
|
0,015
|
8
|
BOD5
|
Mg/l
|
20
|
9
|
TSS
|
Mg/l
|
Coral:>20 e)
mangrove; 80e)
lamun: >20e)
|
Sumber
: Kepmen Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004
Keterangan:
Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi
setiap saat(siang, malam dan musim).
a) =
Diperbolehkanterjadi perubahan sampai dengan < 0,2 satuan pH
b) = Diperbolehkan
terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman
c) = Diperbolehkan
terjadi perubahan sampai dengan <20C dari suhu alami
d) = Diperbolehkan
terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic (lapisan paling atas
dari tubuh air yang menerima cukup cahaya untuk fotosintesis)
e) = Diperbolehkan
terjadi perubahan sampai dengan < 10 % konsentrasi rata-rata musiman.
Kesesuaian suatu ruang untuk kegiatan tertentu akan dapat
berkurang
bahkan
menjadi tidak sesuai jika kemampuan sistem yang ada di dalamnya tidak mampu
lagi untuk menanggung bebab kegiatan yang dilakukan diatasnya. Oleh karena
setiap sistem miliki ambang batas atau kemampuan mendukung atau daya dukung
yang ada di suatu sistem tertentu.
8. Daya Dukung Lingkungan
Konsep daya dukung perairan telah cukup lama dikenal dan dikembangkan
dalam lingkungan budidaya perikanan, seiring dengan peningkatan pemahaman akan pentingnya pengelolaan
lingkungan budidaya untuk menunjang kontinuitas produksi. Dalam perencanaan
atau desain suatu sistem produksi budidaya perikanan, nilai daya dukung
dimasukan sebagai faktor penting untuk dapat menjamin siklus produksi dalam
waktu yang lama (Poernomo 1997).
Pengertian daya dukung lingkungan perairan adalah suatu
yang berhubungan erat dengan produktifitas lestari perairan tersebut. Artinya
daya dukung lingkungan sebagai nilai mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh
interaksi dari semua unsur atau komponen (parameter) dalam suatu kesatuan
ekosistem (Poernomo 1997). Daya dukung lingkungan hidup merupakan kemampuan lingkungan
hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain dan
keseimbangan antar keduanya (Undang-Undang nomor 32. Tahun 2009). Menurut Clark
(1996) daya dukung merupakan konsep yang tepat dalam memanfaatkan sumberdaya
secara terbatas. Untuk menentukan batas pembangunan sumberdaya dan kontrol
pengembangan yang sangat objektif, digunakan metode analisis daya dukung.
Daya dukung lingkungan perairan untuk menunjang budidaya
ikan laut di KJA dan merupakan ukuran kuantitatif yang akan memperlihatkan
berapa jumlah ikan pada lokasi budidaya yang boleh dipelihara dalam luasan area
yang telah ditentukan tanpa menimbulkan degradasi lingkungan dan ekosistem
sekitarnya, Piper et al (1982) diacu dalam Meade (1989) atau jika
telah ditentukan banyaknya ikan budidaya dalam satu keramba jaring apung,
estimasi ini akan menunjukan berapa unit keramba jaring apung yang boleh
dipelihara dalam luasan area yang telah ditentukan. Ha tersebut berlaku juga
pada terapan budidaya rumput laut.
Daya dukung lingkungan dibagi menjadi 2, yakni (1) daya
dukung ekologis (ecological carring capacity) dan (2) daya dukung
ekonomis (economic carring capacity) Scones (1993) diacu dalam
Soselisa (2006). Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum organisme pada
suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor
kepadatan dan tanpa terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen. Daya
dukung ekologis ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan. Daya dukung ekonomi
adalah tingkat produksi (Skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum
secara ekonomi.
Dalam hal ini digunakan parameter-perameter kelayakan
usaha secara ekonomi. Sistem budidaya yang memperhitungkan ukuran daya dukung
lingkungan perairan tempat berlangsungnya kegiatan budidaya dalam menentukan
skala usaha/ukuran unit usaha akan dapat menjamin kontinuitas hasil panen.
Sistem budidaya model ini sering diperkenalkan sebagai sistem budidaya
berkelanjutan Piper et al (1982) diacu dalam Meade (1989). Ketika
wilayah (perairan) dimanfaatkan sebagai tempat untuk pembuangan limbah, maka
harus ada jaminan bahwa jumlah total dari limbah tersebut tidak boleh melebihi
kapasitas daya asimilasinya (assimilative capacity). Dalam hal ini, yang
dimaksud dengan daya asimilasi adalah kemampuan sesuatu ekosistem pesisir untuk
menerima suatu jumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan
lingkungan dan atau kesehatan yang tidak dapat ditoleransi (Komar 1983).
9. Produktifitas Perairan
Produktifitas perairan adalah tingkat kesuburan yang
dimiliki oleh suatu perairan. Pada perairan
umum ditinjau dari tingkat kesuburannya dapat dikelompokkan menjadi perairan
dengan tingkat kesuburan rendah (oligotropik), sedang (mesotropik) dan tinggi
(eutropik). Jenis perairan yang sangat baik untuk digunakan dalam budidaya ikan
di jaring terapung dengan sistem intensif adalah perairan dengan tingkat
kesuburan rendah hingga sedang.Jika perairan dengan tingkat kesuburan tinggi
digunakan dalam budidaya ikan di jaring terapung maka hal ini sangat beresiko
tinggi karena pada perairan eutropik kandungan oksigen terlarut pada malam hari
sangat rendah dan berpengaruh buruk terhadap ikan yang dipelihara dengan
kepadatan tinggi.
B. Faktor Kemudahan
Faktor kemudahan seperti dekat dengan prasarana
perhubungan darat, pelelangan ikan (sumber pakan), dan pemasok sarana dan
prasarana yang diperlukan (listrik, telpon) serta ketersedian tenaga kerja yang
propesional.
C.
Faktor
Teknis
Adapun faktor teknis yang
harus diperhatikan dalam kegiatan budidaya KJA di danau antara lain:
1.
Cara
Pemantauan Kualitas Air
Pemantuan
kualitas air dilakukan dengan cara melakukan pengamatan pada lokasi yang akan
dipilih dengan cara melakukan pengukuran nilai kualitas air.
2.
Mengidentifikasi
Parameter Kualitas Air
Menurut Ismoyo (1994)
kualitas air adalah suatu keadaan dan sifat-sifat fisik, kimia dan biologi
suatu perairan yang dibandingkan dengan persyaratan untuk keperluan tertentu,
seperti kualitas air untuk air minum, pertanian dan perikanan, rumah sakit,
industri dan lain sebagainya. Sehingga menjadikan persyaratan kualitas air
berbeda-beda sesuai dengan peruntukannya.
Menurut Mc Gauhey (1968)
beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kualitas air:
Ø Tingkat
pemanfaatan dari penggunaan air
Ø Faktor
kualitas alami sebelum dimanfaatkan
Ø Faktor
yang menyebabkan kualitas air bervariasi
Ø Perubahan
kualitas air secara alami
Ø Faktor-faktor
khusus yang mempengaruhi kualitas air
Ø Persyaratan
kualitas air dalam penggunaan air
Ø Pengaruh
perubahan dan keefektifan kriteria kualitas air
Ø Perkembangan
teknologi untuk memperbaiki kualitas air
Ø Kualitas
air yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
a.
Parameter
Fisika Air
Parameter fisik dalam
kualitas air merupakan parameter yang bersifat fisik, dalam arti dapat
dideteksi oleh panca indera manusia yaitu melalui visual, penciuman, peraba dan
perasa. Perubahan warna dan peningkatan kekeruhan air dapat diketahui secara
visual, sedangkan penciuman dapat mendeteksi adanya perubahan bau pada air serta
peraba pada kulit dapat membedakan suhu air, selanjutnya rasa tawar, asin dan
lain sebagainya dapat dideteksi oleh lidah (indera perasa). Hasil indikasi dari
panca indera ini
hanya dapat dijadikan indikasi awal karena
bersifat subyektif, bila diperlukan
untuk menentukan kondisi tertentu, misal kualitas air tersebut telah menurun
atau tidak harus dilakukan analisis pemeriksaan air di laboratorium dengan
metode analisis yang telah ditentukan.
Adapun
parameter fisika air yang harus diperhatikan dalam memilih lokasi perairan yang
layak untuk budidaya KJA di laut antara lain:
Ø Suhu
Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, letak
lintang, ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara, penutupan awan dan
aliran serta kedalaman dari badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap
proses fisika, kimia dan biologi perairan. Peningkatan suhu udara disekitar
perairan mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan
volatilisasi. Selain itu peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan
gas dalam air seperti gas-gas O2, CO2, N2, CH4 dan sebagainya (Effendi 2003).
Suhu perairan sangat penting didalam memepengaruhi pertumbuhan ikan budidaya.
Suhu optimal untuk pertumbuhan kerapu sekitar antara 27-290C (Akbar dan
Sudaryanto 2002).
Secara umum suhu perairan nusantara mempunyai perubahan
suhu baik harian maupun tahunan, biasanya berkisar antara 27°C – 32ºC dan ini
tidak berpengaruh terhadap kegiatan budidaya. Kenaikan suhu mempercepat reaksireaksi
kimia, yang menurut hukum Van’t Hoff kenaikan suhu 10ºC akan melipat gandakan
kecepatan reaksi (Romimohtarto, 2003). Pada kondisi tertentu, suhu permukaan
perairan dapat mencapai 35 ºC atau lebih besar. Akan tetapi ikan biasanya akan
berenang menjauhi permukaan perairan (Boyd dan Lichtkoppler, 1982).
Perubahan suhu mempengaruhi tingkat kesesuaian perairan
sebagai habitat organisme akuatik, karena itu setiap organisme akuatik
mempunyai batas kisaran maksimum dan minimum (Efendi, 2003). Ikan merupakan
hewan poikiloterm, yang mana suhu tubuhnya naik turun sesuai dengan suhu
lingkungan (Brotowidjoyo et al, 1995), sebab itu semua proses fisiologis ikan
dipengaruhi oleh suhu lingkungan (Hoar et al, 1979). Suhu perairan berpengaruh
terhadap respon tingkah laku ikan (Bal and Rao, 1984), proses metabolisme,
reproduksi (Hutabarat dan Evans, 1985 ; Efendi, 2003), ekskresi amonia (Wheathon
et al, 1994) dan resistensi terhadap penyakit (Nabib dan Pasaribu, 1989).
Boyd dan Lichtkoppler (1982) menyatakan bahwa suhu yang
optimal bagi pertumbuhan ikan tropis berkisar antara 25°C – 32ºC. Semakin
tinggi suhu semakin cepat perairan mengalami kejenuhan akan oksigen yang
mendorong terjadinya difusi oksigen dari air ke udara, sehingga konsentrasi
oksigen terlarut dalam perairan semakin menurun. Sejalan dengan itu, konsumsi
oksigen pada ikan menurun dan berakibat menurunnya metabolisme dan kebutuhan
energi. Peningkatan suhu perairan sebesar 10ºC, menyebabkan terjadinya peningkatan
konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebanyak dua sampai tiga kali lipat.
Perubahan suhu juga berakibat pada peningkatan dekomposisi bahanbahan organik
oleh mikroba (Effendi, 2003).
Pengaruh suhu secara tidak langsung dapat menentukan
stratifikasi massa air, stratifikasi suhu di suatu perairan ditentukan oleh
keadaan cuaca dan sifat setiap perairan seperti pergantian pemanasan dan
pengadukan, pemasukan atau pengeluaran air, bentuk dan ukuran suatu perairan.
Suhu air yang layak untuk budidaya ikan laut adalah 27 – 32 0C (Mayunar et al.,
1995; Sumaryanto et al.,2001).
Kenaikan suhu perairan juga menurunkan kelarutan oksigen
dalam air, memberikan pengaruh langsung terhadap aktivitas ikan disamping akan
menaikkan daya racun suatu polutan terhadap organisme
perairan (Brown dan Gratzek, 1980). Selanjutnya Kinne
(1972) menyatakan bahwa suhu air berkisar antara 35 – 40 0C merupakan suhu
kritis bagi kehidupan organismen yang dapat menyebabkan kematian.
Di Indonesia, suhu udara rata-rata pada siang hari di
berbagai tempat berkisarantara 28,2 0C sampai 34,6 0C dan pada malam hari suhu
berkisar antara 12,8 0C sampai 30 0C. Keadaan suhu tersebut tergantung pada
ketinggian tempat dari atas permukaan laut.
Suhu air umumnya beberapa derajat lebih rendah dibanding
suhu udara disekitarnya. Secara umum, suhu air di perairan Indonesia sangat
mendukung bagi pengembangan budidaya perikanan (BPS, 2003; Cholik et al.,2005).
Ø Salinitas
Salinitas adalah konsentrasi ion yang terdapat
diperairan. Salinitas
menggambarkan
padatan total di air setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua
bromida dan iodida digantikan dengan klorida dan semua bahan organik telah
dioksidasi (Effendi, 2003).
Sedangkan Hardjojo dan
Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa salinitas adalah berat garam dalam gram
per kilogram air laut serta merupakan ukuran keasinan air laut dengan satuan
pro mil %0, salinitas merupakan parameter penunjuk jumlah bahan
terlarut dalam air. Zat-zat yang terlarut dalam air laut yang membentuk garam
adalah:
- Unsur utama : Khlorida (Cl), Natrium/ Sodium
(Na), Oksida Sulfat (SO4) dan Magnesium (Mg).
- Gas
terlarut : gas Karbondioksida (CO2), gas Nitrogen (N2), gas Oksigen (O2).
- Unsur
hara : Silika (Si), Nitrogen (N), Phosphor (P).
- Unsur
runut : Besi (Fe), Mangan (Mn), Timbal (Pb) dan Air Raksa/ Merkuri (Hg).
Menurut Holiday (1967), salinitas mempunyai peranan
penting untuk
kelangsungan
hidup dan metabolisme ikan, disamping faktor lingkungan maupun faktor genetik
spesies ikan tersebut. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran air
sungai. Di perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula melakukan
pengadukan lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen sampai kira-kira
setebal 50-70 meter atau lebih tergantung dari intensitas pengadukan. Lapisan
dengan salinitas homogen, maka suhu juga biasanya homogen, selanjutnya pada
lapisan bawah terdapat lapisan pekat dengan degradasi densitas yang besar yang
menghambat pencampuran antara lapisan atas dengan lapisan bawah (Nontji, 2007).
Salinitas permukaan air laut sangat erat kaitannya dengan
proses penguapan dimana garam-Salinitas yang tidak sesuai dapat menghambat
perkembangbiakan dan pertumbuhan. Kerang hijau, kerang darah dan tiram adalah
jenis-jenis kerang yang hidup di daerah estuaria. Kerapu dan beronang dapat
hidup di daerah estuaria maupun daerah terumbu karang. Ikan kakap hidup di
perairan pantai dan muara sungai. Pada umumnya salinitas alami perairan terumbu
karang di Indonesia 31 psu (Romimohtarto, 1985).
Salinitas air laut bebas mempunyai kisaran 30-36 ppt
(Brotowidjoyo et al, 1995). Sedangkan daerah pantai mempunyai variasi
salinitas yang lebih besar. Semua organisme dalam perairan dapat hidup pada
perairan yang mempunyai perubahan salinitas kecil (Hutabarat dan Evans, 1995).
Toleransi terhadap salinitas tergantung pada umur stadium
ikan. Salinitas berpengaruh terhadap reproduksi, distribusi, lama hidup serta
orientasi migrasi. Variasi salinitas pada perairan yang jauh dari pantai akan
relatif kecil dibandingkan dengan variasi salinitas di dekat pantai, terutama
jika pemasukan air air sungai. Perubahan salinitas tidak langsung berpengaruh
terhadap perilaku ikan atau distribusi ikan tetapi pada perubahan sifat kimia
air laut (Brotowidjoyo et al, 1995)
Ikan air laut mengatasi kekurangan air dengan
mengkonsumsi air laut
sehingga
kadar garam dalam cairan tubuh bertambah. Dalam mencegah terjadinya dehidrasi
akibat proses ini kelebihan garam harus dibatasi dengan jalan mengekskresi
klorida lebih banyak lewat insang dan ekskresi lewat urine yang isotonik (Hoar et
al., 1979). Ikan mengatur ion plasmanya agar tekanan osmotic didalam cairan
tubuh sebanding dengan kapasitas regulasi.
Ø Muatan Padatan Tersuspensi (MPT)
Padatan tersuspensi adalah bahan-bahan yang tersuspensi
(Ө > 1 μm), yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter pori 0.45
μm. Keberadaan muatan padatan tersuspensi di perairan dapat berupa pasir, lumpur,
tanah liat, koloid serta bahan-bahan organik seperti plankton dan organisme
lain. ( Effendi, 2003 ; Alaerts dan Santika, 1987 dalam Satriadi dan
Widada, 2004). Konsentrasi dan komposisi MPT bervariasi secara temporal dan
spatial tergantung pada faktor-faktor fisik yang mempengaruhi distribusi MPT
terutama adalah pola sirkulasi air, pengendapan gravitional, deposisi dan
resuspensi sedimen. Faktor yang paling dominan dalah sirkulasi air (Chester,
1990 dalam Satriadi dan Widada, 2004). Padatan tersupensi dalam air
umumnya diperlukan untuk penentuan produktivitas dan mengetahui norma air yang
dimaksud dengan jalan mengukur dengan berbagai periode. Suatu kenaikan
mendadak, padatan tersuspensi dapat ditafsir dari erosi tanah akibat hujan
(Sastrawijaya, 2000). Pergerakan air berupa arus pasang akan mampu mengaduk
sedimen yang ada (Satriadi dan Widada, 2004).
Effendi (2003) melaporkan bahwa muatan padatan
tersuspensi bagi kepentingan perikanan
diklasifikasikan sebagai berikut:
Table 2. Kadar Muatan Padatan
Tersuspensi dan Pengaruhnya padaKelangsungan
Hidup Ikan.
Nilai
(mg/l)
|
Pengaruh
Terhadap Kepentingan Perikanan
|
<
25
|
Tidak
berpengaruh
|
25
- 80
|
Sedikit
berpengaruh
|
81
- 400
|
Kurang
baik bagi kepentingan perikanan
|
>
400
|
Tidak
baik bagi kepentingan perikanan
|
Sumber: Alabaster dan Lioyd, 1982
Ø Intensitas Cahaya dan Kecerahan
Cahaya matahari merupakan
sumber energi yang utama bagi kehidupan jasad termasuk kehidupan di perairan
karena ikut menentukan produktivitas perairan. Intensitas cahaya matahari
merupakan faktor abiotik utama yang sangat menentukan laju produktivitas primer
perairan, sebagai sumber energi dalam proses fotosintesis (Boyd, 1982).
Umumnya fotosintesis
bertambah sejalan dengan bertambahnya intensitas cahaya sampai pada suatu nilai
optimum tertentu (cahaya saturasi), diatas nilai tersebut cahaya merupakan
penghambat bagi fotosintesis (cahaya inhibisi). Sedangkan semakin ke dalam
perairan intensitas cahaya akan semakin berkurang dan merupakan faktor pembatas
sampai pada suatu kedalaman dimana fotosintesis sama dengan respirasi (Cushing,
1975; Mann, 1982; Valiela, 1984; Parson et al.,1984; Neale , 1987). Kedalaman
perairan dimana proses fotosintesis sama dengan proses respirasi disebut
kedalaman kompensasi. Kedalaman kompensasi biasanya terjadi pada saat cahaya di
dalam kolom air hanya tinggal 1 % dari seluruh intensitas cahaya yang mengalami
penetrasi dipermukaan air.Kedalaman kompensasi sangat dipengaruhi oleh
kekeruhan dan keberadaan awan sehingga berfluktuasi secara harian dan musiman
(Effendi, 2003). Cahaya merupakan sumber energi utama dalam ekosistem perairan.
Di perairan, cahaya memiliki dua fungsi utama (Jeffries dan Mills, 1996 dalam
Effendi, 2003) antara lain adalah:
- Memanasi
air sehingga terjadi perubahan suhu dan berat jenis (densitas) dan selanjutnya
menyebabkan terjadinya percampuran massa dan kimia air. Perubahan suhu juga
mempengaruhi tingkat kesesuaian perairan sebagai habitat suatu organisme
akuatik, karena setiap organisme akuatik memiliki kisaran suhu minimum dan
maksimum bagi kehidupannya.
- Merupakan
sumber energi bagi proses fotosintesis algae dan tumbuhan air. Kecerahan
merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditemukan secara visual dengan
menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter, nilai
ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan
padatan tersuspensi serta ketelitian seseorang yang melakukan pengukuran.
Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah (Effendi, 2003).
Untuk budidaya perikanan laut, kecerahan air yang dipersyaratkan adalah > 3
m (KLH, 2004; Akbar 2001).
Ø Kekeruhan
Kekeruhan merupakan sifat
fisik air yang tidak hanya membahayakan ikan tetapi juga menyebabkan air tidak
produktif karena menghalangi masuknya sinar matahari untuk fotosintesa.
Kekeruhan ini disebabkan air mengandung begitu banyak partikel tersuspensi
sehingga merubah bentuk tampilan menjadi berwarna dan kotor. Adapun penyebab
kekeruhan ini antara lain meliputi tanah liat, lumpur, bahan-bahan organik yang
tersebar secara baik dan partikel-partikel kecil tersuspensi lainnya.
Tingkat kekeruhan air di
perairan mempengaruhi tingkat kedalaman pencahayaan matahari, semakin keruh
suatu badan air maka semakin menghambat sinar matahari masuk ke dalam air.
Pengaruh tingkat pencahayaan matahari sangat besar pada metabolism makhluk
hidup dalam air, jika cahaya matahari yang masuk berkurang maka makhluk hidup
dalam air terganggu, khususnya makhluk hidup pada kedalaman air tertentu,
demikian pula sebaliknya (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005; Alaerts dan
Santika, 1987).
Padatan tersuspensi dan
kekeruhan memiliki korelasi positif yaitu semakin tinggi nilai padatan
tersuspensi maka semakin tinggi pula nilai kekeruhan. Akan tetapi, tingginya
padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan. Air laut
memiliki nilai padatan terlarut yang tinggi, tetapi tidak berarti kekeruhannya
tinggi pula (Effendi, 2003). Padatan tersuspensi perairan yang baik untuk usaha
budidaya perikanan laut adalah 5 – 25 mg/l (KLH, 2004). Padatan tersuspensi
menciptakan resiko tinggi terhadap kehidupan dalam air pada aliran air yang
menerima tailings di kawasan dataran rendah. Dalam daftar berikut ini, dapat
dilihat bahwa padatan tersuspensi dalam jumlah yang berlebih (diukur sebagai
total suspended solids – TSS) memiliki dampak langsung yang berbahaya terhadap
kehidupan dan bisa mengakibatkan kerusakan ekologis yang signifikan melalui
beberapa mekanisme berikut ini:
- Abrasi
langsung terhadap insang binatang air atau jaringan tipis dari tumbuhan air;
- Penyumbatan
insang ikan atau selaput pernapasan lainnya;
- Menghambat
tumbuhnya/smothering telur atau kurangnya asupan oksigen karena terlapisi oleh
padatan;
- Gangguan
terhadap proses makan, termasuk proses mencari mangsa
- dan
menyeleksi makanan (terutama bagi predation dan filter feeding;
- Gangguanterhadap
proses fotosintesis oleh ganggang atau rumput air karena padatan menghalangi
sinar yang masuk;
- Perubahan
integritas habitat akibat perubahan ukuran partikel.
Ø Warna Perairan
Pada umunakan dalam kegiatan
budidaya umnya warna perairan yang baik digunakan dalam kegiatan budidaya KJA
dilaut adalh perairan yang memiliki warna yang tidak terlalu pekat atau
sewajarnya saja (kecokelatan/biru laut)
b.
Parameter
Kimia Air
Parameter kimia didefinisikan sebagai sekumpulan bahan/zat
kimia yang keberadaannya dalam air mempengaruhi kualitas air seperti :
Ø DO (Oksigen Terlarut)
Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas bagi kehidupan
organisme. Perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat menimbulkan efek
langsung yang berakibat pada kematian organisme perairan. Sedangkan pengaruh
yang tidak langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan pencemar yang pada
akhirnya dapat membahayakan organisme itu sendiri. Hal ini disebabkan oksigen
terlarut digunakan untuk proses metabolisme dalam tubuh dan berkembang biak
(Rahayu, 1991).
Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk
kehidupan makhluk hidup didalam air maupun hewan teristrial. Penyebab utama
berkurangnya oksigen terlarut di dalam air adalah adanya bahan-bahan buangan
organik yang banyak mengkonsumsi oksigen sewaktu penguraian berlangsung
(Hardjojo dan 0,0-15,0 mg/l (Hadic dan Jatna, 1998).
Konsentrasi oksigen terlarut yang aman bagi kehidupan
diperairan
sebaiknya
harus diatas titik kritis dan tidak terdapat bahan lain yang bersifat racun,
konsentrasi oksigen minimum sebesar 2 mg/l cukup memadai untuk menunjang secara
normal komunitas akuatik di periaran (Pescod, 1973). Kandungan oksigen terlarut
untuk menunjang usaha budidaya adalah 5 – 8 mg/l (Mayunar et al., 1995; Akbar,
2001).
Pada perairan yang terbuka, oksigen terlarut berada pada
kondisi alami, sehingga jarang dijumpai kondisi perairan terbuka yang miskin
oksigen
(Brotowidjoyo
et al., 1995). Walaupun pada kondisi terbuka, kandungan oksigen perairan tidak
sama dan bervariasi berdasarkan siklus, tempat dan musim. Kadar oksigen
terlarut juga berfluktuasi secara harian, musiman, pencampuran masa air, pergerakan
masa air, aktifitas fotosintesa, respirasi dan limbah yang masuk ke badan air (Effendi,
2003). Kebutuhan oksigen pada ikan mempunyai dua kepentingan yaitu : kebutuhan
lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan konsumtif yang tergantung pada
metabolisme ikan (Ghufron dan Kordi, 2005).
Penurunan kadar oksigen terlarut dalam air dapat
menghambat aktivitas ikan. Oksigen diperlukan untuk pembakaran dalam tubuh.
Kebutuhan akan oksigen antara tiap spesies tidak sama. Hal ini disebabkan
adanya perbedaan struktur molekul sel darah ikan yang mempunyai hubungan antara
tekanan partial oksigen dalam air dan dengan keseluruhan oksigen dalam sel
darah (Brown and Gratzek, 1980).
Variasi oksigen terlarut dalam air biasanya sangat kecil
sehingga tidak
menggangu
kehidupan ikan (Brotowidjoyo et al, 1995). Keberadaan oksigen di perairan
sangat penting terkait dengan berbagai proses kimia biologi perairan. Oksigen
diperlukan dalam proses oksidasi berbagai senyawa kimia dan respirasi berbagai
organisme perairan (Dahuri et al, 2004). Dalam situasi tertentu ikan akan
berenang menjauhi air yang kadar oksigennya rendah, terutama melampaui batas
yang diinginkan. Pada prinsipnya insang merupakan organ yang dipergunakan ikan
untuk proses respirasi. Insang berfungsi untuk mengekstrak sebagian oksigen
dalam air (Brown and Gatzek,
1980).
Kemampuan bertahan terhadap perubahan oksigen untuk setiap spesies tidak sama.
Beberapa jenis ikan dapat bertahan pada kondisi oksigen yang sangat ekstrim.
Hal ini disebabkan beberapa ikan memiliki pernapasan tambahan yang mampu
mengambil oksigen langsung dari udara, misalnya, ikan lele (Clarias sp) memiliki
arborescent organ, atau jenis ikan blodok (Periopthalmus) yang dapat menggunakan
kulitnya (Fujaya, 2004).
Kadar oksigen terlarut dan pengaruhnya terhadap
kelangsungan hidup ikan dalam Effendi (2003) sebagai berikut :
Tabel 3. Kadar Oksigen
Terlarut dan Pengaruhnya pada Kelangsungan Hidup Ikan
Kadar
Oksigen Terlarut (mg/l)
|
Pengaruh
Terhadap Kelangsungan Hidup Ikan
|
<03
|
Hanya
sedikit yang bertahan
|
0.3
– 1.0
|
Akan
menyebabkan kematian pada ikan jika
berlangsung
lama.
|
1.0
– 5.0
|
Ikan
akan hidup pada kisaran ini tetapi pertumbuhannya
akan
lambat, bila berlangsung lama.
|
>5.0
|
Pada
kisaran ini, hampir semua organisme akuatik
menyukainnya.
|
Sumber
: Modifikasi Swingle dalam Boyd, 1988.
Ø pH
pH merupakan suatu
pernyataan dari konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam air, besarannya
dinyatakan dalam minus logaritma dari konsentrasi ion H. Besaran pH berkisar
antara 0 – 14, nilai pH kurang dari 7 menunjukkan lingkungan yang masam
sedangkan nilai diatas 7 menunjukkan lingkungan yang basa, untuk pH =7 disebut
sebagai netral (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005). Perairan dengan pH < 4
merupakan perairan yang sangat asam dan dapat menyebabkan kematian makhluk
hidup, sedangkan pH > 9,5 merupakan perairan yang sangat basa yang dapat
menyebabkan kematian dan mengurangi produktivitas perairan.
Perairan laut maupun pesisir
memiliki pH relatif lebih stabil dan berada dalam kisaran yang sempit, biasanya
berkisar antara 7,7 – 8,4. pH dipengaruhi oleh kapasitaspenyangga (buffer)
yaitu adanya garam-garam karbonat dan bikarbonat yang dikandungnya (Boyd, 1982;
Nybakken, 1992).
Pescod (1973) menyatakan
bahwa toleransi untuk kehidupan akuatik terhadap pH bergantung kepada banyak
faktor meliputi suhu, konsentrasi oksigen terlarut, adanya variasi
bermcam-macam anion dan kation, jenis dan daur hidup biota. Perairan basa (7 –
9) merupakan perairan yang produktif dan berperan mendorong proses perubahan
bahan organik dalam air menjadi mineral-mineral yang dapat diassimilasi oleh
fotoplankton (Suseno, 1974). pH air yang tidak optimal berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan perkembangbiakan ikan, menyebabkan tidak efektifnya pemupukan
air di kolam dan meningkatkan daya racun hasil metabolisme seperti NH3 dan H2S.
pH air berfluktuasi mengikuti kadar CO2 terlarut dan memiliki pola hubungan
terbalik, semakin tinggi kandungan CO2 perairan, maka pH akan menurun dan
demikian pula sebaliknya. Fluktuasi ini akan berkurang apabila air mengandung
garam CaCO3 (Choliketal., 2005).
Ø Fosfat
Tumbuhan dalam air laut memerlukan N dan P sebagai ion PO4
– untuk pertumbuhan yang disebut nutrient atau unsur hara
makro (Brotowidjoyo et al., 1995). Kandungan fosfat yang lebih tinggi dari
batas toleransi dapat berakibat terhambatnya pertumbuhan. Kandungan fosfat
0,1011 μg/l - 0,1615 μg/l merupakan batas yang layak untuk normalitas kehidupan
organisme budidaya. (Winanto, 2000).
Dalam perairan fosfat berbentuk orthofosfat, organofosfat
atau senyawa organik dalam bentuk protoplasma, dan polifosfat atau senyawa
organik terlarut (Sastrawijaya, 2000). Fosfat dalam bentuk larutan dikenal
dengan orthofosfat dan merupakan bentuk fosfat yang digunakan oleh tumbuhan dan
fitoplankon. Oleh karena itu, dalam hubungan dengan rantai makanan diperairan
ortofosfat terlarut sangat penting (Boyd, 1981).
Fosfat terlarut biasanya dihasilkan oleh masukan bahan
organik melalui darat atau juga dari pengikisan batuan fosfor oleh aliran air
dan dekomposisi organisme yang sudah mati (Hutagalung dan Rozak, 1997). Seperti
variable oksigen dan salinitas, ortofosphat juga berada dalam nilai-nilai yang
alami dalam suatu perairan atau biolimited element (Brotowidjoyo et al, 1995).
Ø Nitrogen
Nitrogen merupakan salah satu unsur penting bagi
pertumbuhan organisme dan proses pembentukan protoplasma, serta merupakan salah
satu unsur utama pembentukan protein. Diperairan nitrogen biasanya ditemukan
dalam bentuk amonia,amonium, nitrit dan nitrat serta beberapa senyawa nitrogen organik lainnya.
Pada umumnya nitrogen diabsorbsi oleh fitoplankton dalam
bentuk nitrat (NO3 – N) dan ammonia (NH3 – N). Fitoplankton lebih banyak
menyerap NH3 – N dibandingkan dengan NO3 – N karena lebih banyak dijumpai
diperairan baik dala kondisi aerobik maupun anaerobik. Senyawa-senyawa nitrogen
ini sangat dipengaruhi oleh kandungan oksigen dalam air, pada saat kandungan
oksigen rendah nitrogen berubah menjadi amoniak (NH3) dan saat kandungan
oksigen tinggi nitrogen berubah menjadi nitrat (NO3-) (Welch, 1980). Senyawa
ammonia, nitrit, nitrat dan bentuk senyawa lainnya berasal dari limbah
pertanian, pemukiman dan industri. Secara alami senyawa ammonia di perairan berasal
dari hasil metabolisme hewan dan hasil proses dekomposisi bahan organik oleh bakteri.
Jika kadar ammonia di perairan terdapat dalam jumlah yang terlalu tinggi (lebih
besar dari 1,1 mg/l pada suhu 25 0C dan pH 7,5) dapat diduga adanya pencemaran
(Alaerst dan Sartika, 1987).
Sumber ammonia di perairan adalah hasil pemecahan
nitrogen organic (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam
tanah dan air, juga berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota
akuatik yang telah mati) yang dilakukan oleh mikroba dan jamur yang dikenal
dengan istilah ammonifikasi (Effendi, 2003). Nitrit (NO2) biasanya ditemukan
dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan alami, kadarnya lebih kecil
daripada nitrat karena nitrit bersifat tidak stabil jika terdapat oksigen.
Nitrit merupakan bentuk peralihan antara ammonia dan nitrat serta antara nitrat
dan gas nitrogen yang biasa dikenal dengan proses nitrifikasi dan denitrifikasi
(Effendi, 2003).
Nitrat (NO3) adalah bentuk nitrogen utama di perairan
alami. Nitrat merupakan salah satu nutrien senyawa yang penting dalam sintesa
protein hewan dan tumbuhan. Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan dapat
menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan organisme perairan apabila didukung
oleh ketersediaan nutrient (Alaerst dan Sartika, 1987). Konsentrasi ammonia
untuk keperluan budidaya laut adalah ” 0,3 mg/l (KLH, 2004). Sedangkan untuk
nitrat adalah berkisar antara 0,9 – 3,2 mg/l (KLH, 2004; DKP, 2002).
Ø Karbondioksida (CO2) Bebas
Karbondioksida bebas merupakan istilah untuk menunjukkan
CO2 yang terlarut di dalam air. CO2 yang terdapat dalam
perairan alami merupakan hasil proses difusi dari atmosfer, air hujan,
dekomposisi bahan organik dan hasil respirasi organisme akuatik. Tingginya
kandungan CO2 pada perairan dapat mengakibatkan terganggunya
kehidupan biota perairan. Konsentrasi CO2 bebas 12 mg/l dapat menyebabkan
tekanan pada ikan, karena akan menghambat pernafasan dan pertukaran gas.
Kandungan CO2 dalam air yang aman tidak boleh melebihi 25 mg/l,
sedangkan konsentrasi CO2 lebih dari 100 mg/l akan menyebabkan semua
organisme akuatik mengalami kematian (Wardoyo, 1979).
Ø COD (Chemical Oxygen Demand)
Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa COD
(Chemical Oxygen Demand) merupakan suatu uji yang menentukan jumlah oksigen
yang dibutuhkan oleh bahan oksidan. Uji COD biasanya menghasilkan nilai kebutuhan
oksigen yang lebih tinggi dibandingkan uji BOD karena bahan-bahan yang stabil
terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dengan uji
COD.
Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh
zat-zat organik yang secara alami dapat dioksidasikan melalui proses
mikrobiologis yang mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air.
Sedangkan nilai COD dapat memberikan indikasi kemungkinan adanya pencemaran
limbah industri di dalam perairan (A. Laerst dan Sartika, 1987).
Ø BOD (Biochemical Oxygen Demand)
BOD (Biochemical Oxygen Demand) atau kebutuhan oksigen
menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk
memecah atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi
oksigen tinggi yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut,
maka berarti kandungan bahan-bahan buangan yang membutuhkan oksigen tinggi.
Konsumsi oksigen dapat diketahui dengan mengoksidasi air pada suhu 20 0C selama
5 hari, dan nilai BOD yang menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi dapat
diketahui dengan menghitung selisih konsentrasi oksigen terlarut sebelum dan
sesudah inkubasi (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005).
BOD menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh
proses respirasi mikroba aerob yang terdapat pada botol BOD yang diinkubasi
pada suhu sekitar 20 0C selama 5 hari dalam keadaan tanpa cahaya
(Boyd, 1982).
Berikut akan disajikan derajat pencemaran suatu badan
perairan yang dilihat berdasarkan nilai BOD5 (Tabel 4).
Tabel 4. Derajat Pencemaran Berdasarkan Nilai BOD5
Kisaran
BOD5 (mg/l)
|
Kriteria
Kualitas Perairan
|
”
2,9
|
Tidak
tercemar
|
3,0
– 5,0
|
Tercemar
ringan
|
5,1
– 14,9
|
Tercemar
sedang
|
•
15,0
|
Tercemar
berat
|
Sumber:
Lee (1987) dalam Sukardiono (1987).
Tabel 4 menyajikan tingkat pencemaran di badan perairan
berdasarkan nilai BOD.Kriteria ini merupakan kriteria untuk organisme budidaya
dengan berbagai sistem budidaya.
c. Parameter Biologi Air
Secara keseluruhan parameter biologi mampu memberikan
indikasi apakah kualitas air pada suatu perairan masih baik atau sudah kurang
baik, hal ini dinyatakan dalam jumlah dan jenis biota perairan yang masih dapat
hidup dalam perairan (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005; Effendi, 2003).
Secara singkat dinyatakan dalam jumlah dan jenis biota
perairan yang masih dapat hidup dalam perairan (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005;
Effendi, 2003).
Ø Plankton
Plankton merupakan organisme pelagik yang mengapung atau
bergerak mengikuti arus (Bal and Rao, 1984), terdiri atas dua tipe yakni
fitoplankton dan zooplankton. Plankton mempunyai peranan penting dalam
ekosistem di laut, karena menjadi bahan makanan bagi berbagai jenis hewan laut
(Nontji, 1993 ; Nybakken, 1992).
Menurut Newell and Newell (1963) daur hidupnya
plankton digolongkan atas:
- Holoplankton
adalah plankton yang seluruh daur hidupnya bersifat planktonik
- Meroplankton
merupakan organisme akuatik yang sebagian dari daur
hidupnya bersifat
planktonik.
Fitoplankton hanya dapat hidup di tempat yang mempunyai
sinar yang
cukup,
sehingga fitoplankton hanya dijumpai pada lapisan permukaan air atau daerah-daerah
yang kaya akan nutrien (Hutabarat dan Evans, 1995). Produktifitas fitoplankton
dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara nitrat dan fosfat serta makrophite
(Boyd, 1981). Fitoplankton sebagai pakan alami mempunyai peran ganda, yakni
berfungsi sebagai penyangga kualitas air dan dasar dalam rantai makanan di
perairan atau yang disebut produsen primer (Odum, 1979).
Distribusi fitoplankton menjadi penting karena kemampuan
beradaptasi dari jenis-jenis fitoplankton tersebut. Perubahan komposisi jenis
dan kepadatan terjadi karena pengaruh faktor-faktor berupa perubahan musim,
jumlah konsentrasi cahaya dan temperatur. Perubahan-perubahan kandungan
meneral, salinitas, run off, dan aktifitas di darat dapat juga
merubah komposisi fitoplankton di laut (Basmi, 2000
Ø Klorofil-a
Sifat- sifat plankton yaitu memiliki pigmen yang lengkap
mulai dari klorofil-a hingga klorofil-c, sehingga kadang diberi nama
berdasarkan warnanya. Kesuburan perairan, salah satu indikatornya dinyatakan
dalam konsentrasi klorofil-a (Basmi, 2000). Kandungan klorofil-a pada setiap
jenis dalam kelas, berbeda berdasarkan kemampuan menyerap dan membiaskan
panjang gelombang cahaya yang diterima.
Fitoplankton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil,
mampu melaksanakan reaksi fotosintesa menghasilkan senyawa organik. Pigmen klorofil-a
merupakan pigmen yang paling besar dan dominan dibandingkan dengan klorofil-b
atau klorofil-c. Kandungan klorofil-a berbeda berdasarkan lokasi (Nontji,
2005), dan mempunyai hubungannya positif antara total fitoplankton dan
klorofil-a (Akbulut, 2003)
Secara singkat kriteria kualitas air untuk lokasi
budidaya ikan dengan sistem keramba jaring apung dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel
5. Kriteria Kualitas Air untuk Lokasi Budidaya dengan sistem KJA Parameter yang
Diukur Kisaran Nilai
Parameter
Yang Diukur
|
Kisaran
Nilai
|
Arus
|
20
– 30 cm/det
|
Suhu
|
25
– 32 0C (untuk wilayah
tropis)
|
Kecerahan
|
>3
m
|
Salinitas
|
28
– 32 ppt
|
DO
|
5
– 10 mg/l
|
Ph
|
7,0
– 8,5
|
Nitrogen
|
<
0,5 mg/l
|
Posfat
|
10
– 110 mg/l
|
Sumber : Bambang dan Tjahjo (1997);
Suwandana (1996) dalam Prasetyawati(2001).
Tabel 5 menampilkan
parameter kunci yang dianggap paling berpengaruh dalam keberlanjutan usaha
budidaya sistem keramba jarring apung.
d.
Produktivitas
Primer Perairan
Produktivitas merupakan daya
produksi bahan organik oleh organisme produsen. Produktivitas primer atau dasar
dari suatu ekosistem adalah laju perubahan energi matahari menjadi bentuk
senyawa-senyawa organik yang dapat digunakan sebagai bahan pangan (Odum, 1996
:54). Sedangkan Menurut Watzel dan Linkens (2000), produktivitas adalah semua
yang menyangkut tentang jumlah kenaikna pertumbuhan dari semua hal yang
berhubungan dengan specimen atau bagian dari populasi. Pengukuran produktivitas
primer dalam suatu perairan digunakan sebagai salah satu cara mengetahui
tingkat kesuburan perairan, karena produktivitas primer fitoplankton
menggambarkan masukan terbesar materi organik baru keperairan, menunjukkan
tersedianya nutrisi bagi pertumbuhan fitoplankton (Wetzel, 2001 : 376). Pengukuran produktivitas primer dapat
dilakukan dengan beberapa metode seperti metode harvest, metode botol
gelap-terang, metode klorofil dan metode fiksasicarbon-14 (Michael, 1984 :
235-238).
Menurut Odum (1996 : 55),
produktivitas primer dibagi menjadi dua tahapan yaitu produktivitas primer
kotor dan produktivitas primer bersih. Produktivitas primer bersih yaitu laju
total dari fotosintsis, termasuk bahan organik yang habis digunakan pada proses
respirasi selama masa pengukuran. Hal ini dikenal juga sebagai fotosintesi
total. Produktivitas primer bersih yaitu laju penyimpanan kelebuhan bahan
organik pada tubuh organisme dari penggunaan respirasi oleh organisme selama
jangka waktu pengukuran.
Produktivitas primer
diestimasi sebagai jumlah karbon yang terrdapat di dalam material hidup dan
secara umum dinyatakan sebagai jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam 1 meter
kuadrat kolom air per hari (g C/m2/hari atau jumlah gram
karbon yang dihasilkan dalam satu meter kubik per hari (g C/m3/hari)
(Levinton, 1982; Tubalawony, 2007:7). Selain jumlah karbon yang dihasilkan,
tinggi rendahnya produktivitas primer perairan dapat dilakukan dengan melakukan
pengukuran terhadap biomassa fitoplankton dan konsentrasi klorofil-a (Valiela, 1984; Tubalawony, 2007: 7).
Cahaya yang berasal dari matahari
penting untuk kehidupan mahkluk hidup, hampir semua energi yang menggerakkan
dan mengontrol metabolisme di perairan berasal dari energi matahari yang
dikonversi secara biokimia melalui proses fotosintesis menjadi energi kimia
potensial. Laju fotosintesis akan tinggi bila intensitas cahaya tinggi dan akan
menurun bila intensitas cahaya menurun. Oleh karena itu cahaya berperan sebagai
faktor pembatas utama dalam fotosintesis atau produktifitas primer yang
dilakukan oleh fitoplankton. Dalam rantai makanan di perairan, kehidupan
fitoplanton dipengaruhi oleh biota lannya seperti zooplankton (Manurung, 1992).
BAB
III
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Adapun kesimpulan kami
mengenai pemilihan lokasi perairan yang layak untuk kegiatan budidaya KJA di
laut adalah:
Dalam memilih lokasi KJA di
laut tidak terlepas dari beberapa aspek
yang meliputi :
-
Aspek resiko yang meliputi pencemaran,
keamanan (savety), arus, kedalaman perairan,
konflik kepentingan, dasar perairan, kesesuaian lingkungan, daya dukung
lingkungan, dan produktifitas perairan.
-
Aspek kemudahan yang meliputi kemudahan
transportasi dan komunikasi, kemudahan memperoleh benih dan pakan, dekat dengan
saran pemasaran, dan ketersediaan tenaga kerja yang propesional.
-
Aspek teknis seeperti parameter-parameter
kualitas air
B.
Saran
Dalam memilih lokasi KJA di
laut harus benar-benar memperhatikan faktor resiko kemudahan, dan teknis.
Selain itu kita juga harus memperhatikan jenis biota yang akan dibudidayakan
dan menyesuaikannya dengan kondisi lingkungan yang telah disurvey apakah telah
sesuai dengan kondisi yang diinginkan oleh biota tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Basmi,
J. 2000. Planktonologi : Plankton
Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan. Makalah, Fakultas Perikanan
Instistut Pertanian Bogor, Bogor.
Bambang
dan Tjahjo (1997); Suwandana (1996) dalam Prasetyawati(2001). Indikator Kualitas Air, Kanisius.
Yogyakarta.
Boyd,
C.E., 1979. Water Quality in Warm water
Fish Ponds. Auburn. University. Alabama.USA.
Effendie.
2003. Telaah kualitas air bagi
pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Kanisius. Jogjakarta
-------------,1979 Metodologi Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri
Herper,b.
and Y Prugnin. 1984. Commercial Fish
Farming, With The Special Reference To Fish Culture In Israel. Jhon Wiley
and sons. New York
Karyawan
parangin Angin.2008. Modul Pembesaran
Ikan. PPPTK pertanian Cianjur
M.
Ghufra H. 2007. Pengelolaan Kualitas Air
Dalam Budidaya Perairan, Bhnineka Cipta.
Poernomo A.1997. Peranan
Tata Ruang, Desain Interior Kawasan Pesisir Dan PengelolaannyaTerhadap
Kelestarian Budidaya Tambak. Dalam majalah Techner, No 29, tahun VIJakarta
www.damandiri.or.id/file/pramahartamiipbbab2.pdf
( Akses: 15-08-2009).
http://www.deptan.go.id,
Maret 2001.
Agoes.
E. R. 2001. Desentralisasi Pengelolaan
Wilayah Laut Perspektif Hukum Laut. Departemen Kelautan dan Perikanan,
Jakarta.
Akbar,
S dan Sudaryanto. (2001). Pembenihan dan
Pembesaran Kerapu Bebek. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta.
Akbulut,
A. 2003. The Relationship Between
Phytoplantonic Organisms and Chlorophyll a in Sultan Sazligi. Journal.
Hacettepe University.
American
Public Healt Association (APHA). 1976. Standard
Methods for the Examination of Water and Waste Water. 14 th edition,
Washington D.C
APHA,
AWWA, WPCF. 1989. Standar Methods. For
The Examination of Water and Waste Water. L. S. Clesceri., A. E. Greenberg,
R. R. Trussel (ed). 17 th Edition, Washington D.C.
Bakosurtanal.
1996. Pengembangan Prototipe Wilayah
Pesisir dan Marin Kupang-Nusa Tenggara Timur. Pusat Bina Aplikasi Inderaja
dan Sistem Informasi Geografis, Cibinong.
BAPEDAL.
1996. Buku Panduan Penyusunan Amdal
Kegiatan Pembangunan di Wilayah Pesisir dan Laut. Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan, Jakarta.
Bappeda
NTT, 2004. Draf Zonasi Teluk Kupang.
Kerjasama Bappeda NTT dan Jurusan Perikanan, Fak. Pertanian Univ. Nusa
Cendana, Kupang. Basmi, J. 2000. Planktonologi : Plankton Sebagai Bioindikator
Kualitas
Perairan.
Makalah, Fakultas Perikanan Instistut Pertanian Bogor, Bogor. 1999. Ekosistem Perairan : Habitat dan Biota.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Instistut Pertanian Bogor, Bogor.
Beveridge.
M. 1987. Cage Aquaculture. Fishing News
Books Ltd, Farnhan Surrey.
Biro
Pertanian, Perikanan dan Kelautan. 1999. Pedoman
Perencanaan dan Pengembangan. Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir di
Indonesia. Badan Perencanan Pembangunan Nasional, Jakarta.
Black,
J. A. 1986. Oceans and Coastal : An
Introduction to Oceanography. W. M. Brown Publisher, IOWA.
Boyd,
C.E. 1981. Water Quality in Warm Water
Fish Pond. Auburn University, Auburn.
1990.
Water Quality in Ponds for Aquaculture.
Alabama Agriculture Experimental Station. Auburn University, Auburn
Boyd,
C. E. And F. Lichtkoppler. 1982. Water
Quality Management in Pond Fish Culture. Auburn University, Auburn.
Brotowijoyo,
M. D., Dj. Tribawono., E. Mulbyantoro. 1995. Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Penerbit Liberty,
Yogyakarta.
Brown.
E. E and J. B. Gratzek. 1980. Fish
Farming Handbook. AVI Publishing Company INC, New York.
Budiyanto.
E. 2005. Pemetaan Kontur dan Pemodelan
Spatial 3 Dimensi Surfer. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Dahuri,
R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut
; Aset Pembangunan Berkelanjutan. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Dahuri,
R., J. Rais., S. P. Ginting., M. J. Sitepu. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu.
Edisi revisi. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Deptan.
1992. Budidaya Beberapa Hasil Laut.
Penerbit Badan Pendidikan dan Latihan Pertanian, Jakarta.
Departemen
Kelautan dan Perikanan. 2002. Modul
Sosialisasi dan Orientasi Penataan Ruang, Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, Jakarta.
.
2004. Modul Sosialisasi dan Orientasi
Penataan Ruang, Lau, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Ditjen Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil. Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil, Jakarta.
Direktorat
Jenderal Perikanan. 1982. Petunjuk
Teknis Budidaya Laut. Ditjen Perikanan, Jakarta.
Effendi.
H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi
Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius,
Yogyakarta.
Fujaya,
Y. 2004. Fisiologi Ikan : Dasar
Pengembangan Teknik Perikanan. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Ghufron.
M, dan H. Kordi. 2005. Budidaya Ikan
Laut di Keramba Jaring Apung. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Gimin,
R. 2001. Peluang dan Hambatan
Pengembangan Akuakultur di Propinsi NTT. Prosiding Seminar Hasil Penelitian
dan Kajian Dosen UPT Perikanan dan Ilmu Kelautan UNDANA, Kupang.
Ghozali.
H. I. 2005. Analisis Multivarite dengan
Program SPSS. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Hartoko,
A., 2000. Teknologi Pemetaan Dinamis
Sumberdaya Ikan Pelagis Melalui Analisis Terpadu Karakter Oseanografi dan Data
Satelit NOAA, Landsat_TM dan
SeaWIFS_GSFC di Perairan Laut Indonesian. Kantor Menteri Negara Riset dan
Teknologi, Dewan Riset Nasional, Jakarta.
Hartoko,
A dan M. Helmi. 2004. Development of
Digital Multilayer Ecological Model for Padang Coastal Water (West Sumatera).
Journal of Coastal Development. Vol 7.No 3 hal 129-136.
Haumau,
S. 2005. Distribusi Spatial Fitoplankton
di Perairan Teluk Haria Saparua, Maluku Tengah. Ilmu Kelautan Indonesian
Journal Of Marine Science, UNDIP. Vol 10. No 3. hal 126 – 136.
Hoar,
W. S., D. J. Randall and J. R. Brett. 1979. Fish Fisiology : Bioenergenetic and Growth. Academic Press, Florida.
Hutabarat,
S dan S. M. Evans. 1995. Pengantar
Oceanografi. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Hutabarat,
S. 2000. Peranan Kondisi Oceanografi
terhadap Perubahan Iklim, Produktivitas dan Distribusi Biota Laut. UNDIP,
Semarang.
Hutagalung
H. P. dan A. Rozak. 1997. Penetuan Kadar
Nitrat. Metode Analisis Air Laut , Sedimen dan Biota. H. P Hutagalung, D.
Setiapermana dan S. H. Riyono (Editor). Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oceanologi. LIPI, Jakarta.
.
1997. Penentuan Kadar Fosfat. Metode Analisis
Air Laut , Sedimen dan Biota. H. P Hutagalung, D. Setiapermana dan S. H.
Riyono (ed). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oceanologi. LIPI, Jakarta.
Hutahaen,
W., S. Wouthuyzen., T. Wenno dan Madasaeni. 1996. Kondisi Oceonagrafi Wilayah Pesisir Kupang dan Sekitarnya. Sam
Wouthuyzen (ed). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oceanologi. LIPI, Ambon.
Krenkel.
P. A and Novotny. 1980. Water Quality
Management. Academi Press. A Subsidiary of Harcourt Brance Javonovich
Publishers, New York.
LIPI.
1996. Status Ekosistem Wilayah Pesisir
Teluk Kupang dan Sekitarnya. Sam Wouthuyzen (ed). Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oceanologi. LIPI, Ambon.
Lee
(1987) dalam Sukardiono (1987). Disolved
Oksigen Dalam suatu perairan.
Universita Diponegoro, Semarang.
Menteri
Negara Lingkungan Hidup. 2004. Baku Mutu
Air Laut. Keputusan Meneg. KLH No 51 tahun 2004, tanggal 8 April 2004,
Jakarta.
Meske.
C. 1985. Fish Aquaculture Technology and
Experiments. First Edition, F. Vogt (ed). Pengamon Press, London.
Meyers.
W. L., Ronald and Shelton. 1980. Survey
Methods for Ecosystem Management. Departament of Resources Departament.
Michigan State University- A Willey- Interscience Publication.
J.
Willey and Sons, Michigan. Milne, P. H. 1979. Fish and Shellfish Farming in Coastal Waters. Fishing News Book
Ltd, Farnham Surrey.
Muir.
J. F and J. M. Kapetsky. 1988. Site
Selection Decisions and Project Cost. The Case of Brackish Water Pond System.
Aquaculrure Engeneering Technogies for The Future. IChemE Symposium Series No.
111, EFCE Publication Series No 66, Scotland.
Nabib,
R dan F. H. Pasaribu. 1989. Patologi dan
Penyakit Ikan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Nasution,
S. 2001. Metode Research (Penelitian
Ilmiah). Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.
Naulita,
Y. 2001. Karakteristik Massa Air pada
Perairan Lintas ARLINDO (The Characteristics of Water Masses in Passage of
Indonesian Throughflow). Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan, Institut
Pertanian Bogor, Bogor. Vol 1 No. 4 hal 57 – 74.
Newell,
G. E. and R. C. Newell. 1963. Marine
Plankton a Practical Quide. 1st Edition. Hutchinson Educational
LTD, London.
Nontji,
A. 2005. Laut Nusantara. Edisi
revisi. Penerbit Djambatan, Jakarta.
Nurdjana,
M. L. 2001. Prospek Sea Farming di
Indonesia. Teknologi Laut dan Pengembangan Sea farming Indonesia.
Departemen Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan JICA, Jakarta.
Nybakken,
J. W. 1992. Biologi Laut. PT.
Gramedia, Jakarta.
Odum,
E. P. 1979. Dasar-Dasar Ekologi.
Edisi Ketiga. Gadjah Mada University Press. Oreginal English Edition.
Fundamental of Ecology Thurd Edition, Yokyakarta.
Pillay,
T. V. R. 1990. Quality Criteria for
Water. US Enviromental Protection Agency, Washington DC.
Purnomo.
A. 1992. Site Selection for Sustainable
Coastal Shrimp Ponds. Central Reseach Institute for Fishery. Agency for
Agriculture and Development Minstry of Agriculture. Jakarta-Bandung.
Pusat
Pengembangan Geologi Bandung. (1996). Survei
Tematik Kelautan Terintegrasi dan Inventarisasi Sumberdaya Geologi dan
Geofisika Kelautan di Wilayah MCMA Kupang dan Sekitarnya. Pusat Pengembangan
Geologi Bandung, Bandung.
Prahasta,
E. 2002. Konsep-Konsep Dasar Sistem
Informasi Geografis. Penerbit Informatika, Bandung.
Radiarta,
I. Ny., S. E. Wardoyo., B. Priyono dan O. Praseno. 2003. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Penentuan Lokasi Pengembangan
Budidaya Laut di Teluk Ekas, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia. Pusat Riset Perikanan Budidaya Jakarta. Vol 9 no 1, hal 67 – 71.
Radiarta,
I. Ny., A. Saputra., O, Johan. 2005. Pemetaan
Kelayakan Lahan untuk Pengembangan Usaha Budidaya Laut dengan Aplikasi Inderaja
dan Sistem Informasi Geografis di Perairan Lemito, Propinsi Gorontalo. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia, Vol.11 No 1 hal 1-13.
Rejeki,
S. 2001. Pengantar Budidaya Perairan.
Badan Penerbit UNDIP, Semarang.
Romimohtarto,
K dan S. Juwana. 1999. Biologi Laut.
Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanologi. LIPI, Jakarta.
Romimohtarto,
K. 2003. Kualitas Air dalam Budidaya
Laut. www.fao.org/docrep/field/003.
Rosen,
B. H. 1990. Microalgae Identification
for Aquaculture. 1st Edition, Florida Aqua Farms, Florida.
Sastrawijaya,
A. T. 2000. Pencemaran Lingkungan.
Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Satriadi,
A dan S. Widada. 2004. Distribusi Muatan
Padatan Tersuspensi di Muara Sungai Bodri, Kabupaten Kendal. Jurnal Ilmu
Kelautan UNDIP. Vol 9 (2) hal 101 – 107.
Shephered,
J and N. Bromage. 1988. Intensive Fish
Farming. BSP Profesional Books Oxford London. Edinburgh, Boston Palo Alio
Melbourne.
Sidjabat.
M. M. 1976. Pengantar Oceanografi.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Soderberg,
R. W. 1995. Flowing Water Fish Culture.
Lewis Publisher, Florida.
Sudjana.
2002. Teknik Analisis Regresi dan
Korelasi bagi Para Peneliti. Penerbit Tarsito, Bandung.
Sudjiharno.,
M. Meiyana., dan S. Akbar. 2001. Pemanfaatan
Teknologi Rumput Laut dalam Rangka Intensifikasi Pembudidayaan. Bulleti
Budidaya Laut. DKP. Balai Budidaya Laut, Lampung.
Sugandhi,
A. 1996. Strategi Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Laut di Indonesia. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Lembaga
Penelitian IPB dengan Dirjen Pembangunan Daerah Depdagri dan ADB. Bogor.
Suin,
N. M. 1999. Metode Ekologi. Dirjen
Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.
Sukandi,
M. F, 2002. Peningkatan Teknologi
Perikanan ( The Improvement of Fish Culture Technology). Journal Icthyoligi
Indonesia. Vol 2 No 2. hal61-66.
Supriharyono.
2000. Pelestarian dan Pengelolaan
Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Supriyadi.
H. I. 1996. Geomorfologi Wilayah Pesisir
Kupang dan Sekitarnya. Status Ekosistem Wilayah Pesisir dan Sekitarnya. Sam
Wouthuseyzen (ed). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oceanologi. LIPI, Ambon.
Tarunamilia.,
A. Mustafa dan A. Hanafi. 2001. Penentuan
Lokasi Budidaya Keramba Jaring Apung dengan Aplikasi Penginderaan Jauh dan
Sistem Informasi Geografis. (Studi Kasus di Teluk Pare-Pare Sulawesi
Selatan).
Penyuting
Ahmad. dkk. Teknologi Budidaya Laut Pengembangan Sea Farming Indonesia. DKP dan
JICA, Jakarta.
Torres,
A. C., L. G. Ross and M. C. M. Beveridge. 1998. The Use Remote Sensing in Water Quality Investigations for Aquaculture
and Fisheries. Aquaculrure Engeneering Technogies for The Future. IChemE Symposium
Series No. 111, EFCE Publication Series No 66, Scotland.
Utojo,
A. Mansyur., Taranamulia., B. Pantjara dan Hasnawai. 2005. Identifikasi Kelayakan Lokasi Budidaya Laut di Perairan Teluk Kupang,
Nusa Tenggara Timur. Journal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol II. No 5,
hal 9-29.
Viyard,
W. C. 1979. Diatom of North America.
1st Edition. Mad River Press Eureka, California.
Weathon,
F. W., J. N. Hochheimer., G. E. Kaiser., M. J. Krones., G. S. Libey and C. C.
Easter. 1994. Nitrification Filter
Principles. M. B. Timmons and T. M. Losardo (ed). Aquaculture Water Reuse
Systems: Engineering Design and Management. Elsevier Science, Amsterdam.
Wibisono,
M. S. 2005. Pengantar Ilmu Kalautan.
Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Widodo,
J. 2001. Prinsip Dasar Pengembangan
Akuakultur dengan Contoh Budidaya Kerapu dan Bandeng di Indonesia. Teknologi
Budidaya Laut dan Pengembangan Sea Farming Indonesia. Departemen Kelautan
dan Perikanan dan JICA. Jakarta hal 17 - 26.
Winanto,
Tj. 2004. Memproduksi Benih Tiram Mutiara.
Penebar Swadaya, Jakarta.
Wirasatriya.
A., dan S. Supriyanto. 2004. Perkembangan
Awal Larva Tiram Mutiara (Pintada maxima) pada Tingkat Salinitas yang Berbeda.
Indonesia Journal of Marine Science, UNDIP, Semarang. Vol 9. No. 1, hal 14 –
19.
Wouthuyzen,
S. 1995. Rangkuman. Status Ekosistem
Wilayah Pesisir Teluk Kupang dan Sekitarnya. Sam Wouthuyzen (ed). Pusat
Penelitian dan Pengembangan Oceanologi. LIPI, Ambon.
Yususf.
S. A., S. Wouthuyzen dan P. H. Lusykooy., 1995. Plankton dan Kesuburan Perairan di Wilayah Pesisir Kupang dan
Sekitarnya. Status Ekosistem Wilayah Peisisr Kupang dan Sekitarnya. Sam Woutthuyzen(ed).
Pusat Penelitian dan Pengembangan Oceanologi. LIPI, Ambon.
Zonneveld.
N., E. A. Huisma dan J. H. Boon. 1991. Prinsip-Prinsip
Budidaya Ikan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.