slide show

Free Music Online
Free Music Online

free music at divine-music.info

Selasa, 02 April 2013

Penangkapan Ikan



BAB I
PENDAHULUAN
Menangkap ikan, adalah kegiatan perburuan. Karena sifatnya memburu, menjadikan kegiatan penangkapan ikan mengandung ketidakpastian yang tinggi. Untuk mengurangi ketidakpastian hasil tangkapan ikan tersebut, nelayan sudah sejak lama menggunakan sarana “cahaya” sebagai alat bantu penangkapan ikan.
Sebelum teknologi electrical light berkembang dengan pesat seperti sekarang ini, nelayan-nelayan di berbagai belahan dunia menggunakan cahaya lampu obor sebagai alat bantu penangkapan ikan. Pada awalnya penggunaan lampu sebagai alat bantu penangkapan ikan hanya terbatas pada perikanan tradisional yang terletak di pantai saja, seperti perikanan pukat pantai, sero, dan beberapa alat tangkap bagan lainnya. Namun, seiring dengan berkembangnya kegiatan perikanan tradisional menjadi industri, pemanfaatan cahaya sebagai alat bantu berkembang luas untuk membantu penangkapan ikan pada perikanan purse seine, bagan, stick held deep nets, dan lain-lain.
Penggunaan cahaya listrik dalam kegiatan penangkapan ikan pertama kali dikembangkan di Jepang sekitar tahun 1900, kemudian selanjutnya berkembang ke berbagai belahan dunia. Indonesia sendiri, penggunaan lampu sebagai alat bantu penangkapan ikan tidak diketahui dengan pasti. Diduga, perikanan dengan alat bantu lampu berkembang dari bagian timur perairan Indonesia dan menyebar ke bagian barat Indonesia.

BAB II

Minggu, 03 Maret 2013

MAKALAH
MANAJEMEN LINGKUNGAN INDUSTRI
SIKLUS BIOGEOKIMIA
Kelompok 1
1. Mohamach Asnaquy F34078001
2. Derbie O. Suryanto F34080014
3. Sampah Mas F34080099
4. Fahrudin F34080129
5. Anton S. F44080025
6. Andi Iqra Selle Pais F44080035
7. Aditya Fajar M. J. F44080054
2011
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
I. PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Permasalahan

Ekologi biasanya didefinisikan sebagai ilmu tentang interaksi antara organisme - organisme dan lingkungannya. Berbagai ekosistem dihubungkan satu sama lain oleh proses-proses biologi, kimia, fisika. Masukan dan buangan energi, gas, bahan kimia anorganik dan organik dapat melewati batasan ekosistem melalui perantara faktor meteorologi seperti angin dan presipitasi, faktor geologi seperti air mengalir dan daya tarik dan faktor biologi seperti gerakan hewan. Jadi, keseluruhan bumi itu sendiri adalah ekosistem, dimana tidak ada bagian yang terisolir dari yang lain. Ekosistem keseluruhannya biasanya disebut biosfer.

Biosfer terdiri dari semua organisme hidup dan lingkungan biosfer membentuk “shell” (kulit), relatif tipis di sekeliling bumi, berjarak hanya beberapa mil di atas dan di bawah permukaan air laut. Kecuali energi, biosfir sudah bisa mencukupi dirinya sendiri, semua persyaratan hidup yang lain seperti air, oksigen, dan hara dipenuhi oleh pemakaian dan daur ulang bahan yang telah ada dalam sistem tersebut.

Materi yang menyusun tubuh organisme berasal dari bumi. Materi yang berupa unsur-unsur terdapat dalam senyawa kimia yang merupakan materi dasar makhluk hidup dan tak hidup. Siklus biogeokimia atau siklus organikanorganik adalah siklus unsur atau senyawa kimia yang mengalir dari komponen abiotik ke biotik dan kembali lagi ke komponen abiotik. Siklus unsur-unsur tersebut tidak hanya melalui organisme, tetapi juga melibatkan reaksi-reaksi kimia dalam lingkungan abiotik.

Semua yang ada di bumi ini baik mahluk hidup maupun benda mati tersusun oleh materi. Materi ini tersusun atas unsure-unsur kimia antara lain karbon (C), Oksigen (O), Nitrogen (N), Hidrogen (H), dan Fosfor (P). Unsur-unsur kimia tersebut atau yang umum disebut materi dimanfaatkan produsen untuk membentuk bahan organik dengan bantuan matahari atau energi yang berasal dari reaksi kimia. Bahan organik yang dihasilkan merupakan sumber energi bagi organisme. Proses makan dan dimakan pada rantai makanan menngakibatkan aliran materi dari mata rantai yang satu ke mata rantai yang lain. Walaupun mahluk hidup dalam satu rantai makanan mati, aliran materi akan tetap berlangsung terus. Karena mahluk yang mati tersebut diurai oleh dekomposer yang akhirnya akan masuk lagi ke rantai makanan berikutnya. Demikian interaksi ini terjadi secara terus menerus sehingga membentuk suatu aliran energi dan daur materi.

Mahluk hidup, terutama tumbuhan ikut mendapat pengaruh yang cukup signifikan dari suplai hara dan energi. Di alam, semua elemen-elemen kimiawi dapat masuk dan keluar dari sistem untuk menjadi mata rantai siklus yang lebih luas dan bersifat global. Namun demikian ada suatu kecenderungan sejumlah elemen beredar secara terus menerus dalam ekosistem dan menciptakan suatu siklus internal. Siklus ini dikenal sebagai siklus biogeokimia karena prosesnya menyangkut perpindahan komponen bukan jasad (geo), ke komponen jasad (bio) dan kebalikannya. Siklus biogeokimia pada akhirnya cenderung mempunyai mekanisme umpan-balik yang dapat mengatur sendiri (self regulating) yang menjaga siklus itu dalam keseimbangan.

B. Tujuan

1. Untuk mengetahui siklus biogeokimia dalam kehidupan

2. Untuk mengetahui hubungan aliran energi dengan siklus biogeokimia

3. Untuk mengetahui keadaan siklus biogeokimia hingga saat ini

4. Memberikan rekomendasi dalam menjaga keberlanjutan siklus biogeokimia di alam







II. URAIAN

Lingkungan secara umum terdiri dari komponen hidup (biotik) dan komponen tak hidup (abiotik) yang berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur. Untuk mencapainya, dibutuhkan arus materi dan energi yang dikendalikan oleh arus informasi di antara komponen-komponen tersebut (Kristanto, 2004).

Keteraturan tersebut menunjukkan suatu kondisi keseimbangan yang tidak statis melainkan dinamis dan selalu berubah (berbentuk siklus). Siklus yang terjadi biasanya merupakan aliran ion ataupun molekul dari nutrien yang dipindahkan dari lingkungan ke organisme (komponen hidup) dan dikembalikan lagi ke komponen tak hidup (abiotik). Siklus ini disebut sebagai siklus biogeokimia. Cakupan dari siklus biogeokimia adalah siklus hidrologi, siklus atmosfer, dan siklus sedimen (Basukriadi, 2011). Siklus biogeokimia yang terpenting adalah siklus karbon dan oksigen, siklus nitrogen dan siklus fosfor, yang berperan terhadap lingkungan tanaman (Jumin, 2002).

a. SIKLUS HIDROLOGI

Siklus ini merupakan siklus air di bumi yang dipengaruhi oleh peran energi matahari dan gaya gravitasi bumi. Proses-proses penting yang terjadi adalah proses penguapan, transpirasi, kondensasi, dan presipitasi. Penguapan (evaporasi) merupakan perubahan fase air dari bentuk cairan menjadi bentuk gas akibat panas matahari di permukaan bumi. Pada proses ini, dikhususkan air yang bukan berasal dari tanaman, contohnya air danau, sungai, lautan dan bagian hidrosfer lainnya. Penguapan ini terjadi sekitar 84% di lautan dan 16% di daratan. Sementara, penguapan yang terjadi pada tanaman disebut transpirasi. Air dalam bentuk uap ini kemudian memasuki atmosfer dan mengalami pendinginan sehingga terjadi kondensasi dan membentuk awan. Awan akan terbawa oleh angin ke bagian lain dari bumi. Molekul-molekul air akan terdispersi (terurai) secara menempel pada partikel-partikel debu yang ada di atmosfer lalu bergabung membentuk buatiran-butiran air. Butiran-butiran air yang sudah mencapai berat tertentu akan jatuh ke permukaan bumi. Peritiwa ini disebut dengan presipitasi. Presipitasi dapat berbentuk hujan, salju, ataupun embun tergantung pada kondisi lingkungannya. Presipitasi dapat terjadi secara langsung ke daerah hidrosfer, sekitar 77%, dan sebanyak 23% jatuh di atas tanah dan batu-batuan. Sebagian dari air yang jatuh di atas tanah dan batu-batuan akan mengalir melalui permukaan menuju bagian hidrosfer, sementara yang lainnya akan meresap ke dalam tanah (air tanah). Air tanah ini mencapai lapisan yang kedap air lalu meresap secara perlahan dan mengalir hingga bagian hidrosfer. Setelah itu, terjadi siklus ulang (Buchari dkk., 2001).



Siklus air ini terkait dengan penyediaan nutrien bagi makhluk hidup. Dalam kondisi yang normal, perembesan dan aliran permukaan air tidak akan mencuci mineral-mineral tanah. Kalaupun ada, hanya sedikit mineral tanah yang akan tercuci. Selain itu, air hujan dapat melapukkan batu sehingga tersedia bahan pengganti berbagai mineral, sehingga mineral tanah tetap terjaga. Namun, sebaliknya, jika kondisi tidak normal, nutrien dalam tanah dapat terganggu sehingga ekosistem pun terganggu. Salah satu penyebabnya adalah penggundulan hutan.



b. SIKLUS ATMOSFER

Siklus ini merupakan siklus yang terkait dengan kandungan gas yang ada di bumi, di mana tempat terjadinya adalah di atmosfer. Siklus ini agak cepat beradaptasi jika ada gangguan akibat wilayah yang luas. Selain itu, siklus ini juga relatif sempurna dalam arti global karena ada peningkatan umpan balik negatif dari alam. Bagian yang terpenting adalah siklus karbon (C), siklus nitrogen (N2) dan oksigen (O2).





b.1. Siklus karbon

Siklus karbon dapat terbagi menjadi dua macam, yaitu siklus dalam reaksi termonuklir berantai dalam binatang dan siklus karbon di bumi. Siklus di bumi ini lebih terkenal dengan siklus karbondioksida karena material yang berpindah adalah CO2. CO2 dalam udara digunakan oleh tanaman untuk reaksi fotosintesis menjadi materi organik (karbohidrat) dengan adanya gabungan dengan air. Senyawa organik tersebut diteruskan kepada konsumen dalam rantai makanan. Energi digunakan oleh makhluk hidup menghasilkan CO2 yang terlepas ke udara ataupun ke air, tergantung dari lingkungan hidup. Namun, senyawa organik tetap ada yang tersisa. Organisme juga mengeluarkan materi sisa (kotoran) yang mengandung karbon serta menjadi senyawa karbon organik setelah mati. Karbon-karbon ini dilepaskan dalam bentuk CO2 ke udara oleh saprovor (mikroorganisme pengurai). Dari udara ini, karbon dalam bentuk CO2 akan kembali digunakan oleh tumbuhan (siklus terjadi). Namun, reaksi oleh saprovor terkadang lambat sehingga senyawa karbon menumpuk dalam jangka waktu yang lama dalam bentuk gambut, batu bara, minyak bumi, ataupun batu karang(Buchari dkk., 2001). Pada ekosistem laut, terdapat karbon terlarut yang akan berubah menjadi cangkang dan tulang organisme laut dan menjadi sedimen. Selain itu, pengangkatan tektonik membawa karbon ke permukaan laut (Basukriadi, 2011).





b.2. Siklus nitrogen

Nitrogen dapat ditemui di alam dalam bentuk bebas (di udara) maupun di dalam tanah. Nitrogen ini akan diikat oleh tanaman dalam bentuk gas N2, serta diambil dari tanah dalam bentuk amonia (NH3), ion nitrit (N02- ), dan ion nitrat (N03-) dengan bantuan bakteri, misalnya Marsiella crenata. Di dalam tanah, terdapat juga bakteri yang mengikat nitrogen secara langsung yaitu Azotobacter sp. dan Clostridium sp. Mereka menggunakan nitrogen untuk dijadikan senyawa penyusun tubuh yaitu protein. Saat baketri itu mati, timbul zat urai berupa amonia. Amonia akan terlepas ke udara, atau dinitrifikasi oleh bakteri nitrit, yaitu Nitrosomonas dan Nitrosococcus lalu dioksidasi dalam lingkungan aerob sehingga menghasilkan nitrat yang akan diserap oleh akar tumbuhan (proses nitrifikasi). Selanjutnya oleh bakteri denitrifikan, nitrat diubah menjadi amonia kembali,dan amonia diubah menjadi nitrogen yang dilepas ke udara. Nitrogen di udara akan diikat kembali oleh tanaman, dan sebagian bereaksi dengan hidrogen atau oksigen dengan bantuan kilat/ petir. Dengan cara ini, siklus nitrogen berulang (Riastuti, 2011).



b.3. Siklus oksigen

Siklus oksigen terkait dengan siklus karbon. Dari proses fotosintesis tanaman, dihasilkan oksigen ke udara. Oksigen ini diperlukan oleh organisme untuk respirasi, menghancurkan bahan organik menjadi senyawa yang lebih sederhana (CO2). CO2 ini akan digunakan kembali untuk fotosintesis dengan hasil samping O2 (siklus berulang). Selain itu, O2 digunakan untuk pelapukan oksidatif dan pembakaran bahan baku fosil. Selain itu, O2 di udara dapat berbentuk ion, atom tereksitasi ataupun ozon O3 akibat pengaruh radiasi ultraviolet. Oksigen tereksitasi akan memancarkan cahaya tampak pada panjang gelombang tertentu menimbulkan fenomena cahaya langit (air glow). Sementara, ozon berfungsi sebagai pelindung bumi karena menyerap radiasi UV (Buchori dkk, 2001).



c. SIKLUS SEDIMEN

Siklus ini merupakan siklus material yang terjadi di dalam kulit bumi. Di antaranya adalah siklus sulfur (S) dan siklus fosfor (P). Dalam siklus ini, terdapat kecenderungan kurang sempurna, serta mudah terganggu oleh gangguan setempat. Ini diakibatkan oleh sifatnya yang relatif tidak aktif dan tidak bergerak di dalam kulit bumi. Dampaknya adalah kecenderungan hilang dari beberapa bagian bahan.



c.1. Siklus fosfor

Fosfor merupakan elemen penting dalam kehidupan karena semua makhluk hidup membutuhkan posfor dalam bentuk ATP (Adenosin Tri Fosfat), sebagai sumber energi untuk metabolisme sel. Fosfor yang terdapat di alam dalam bentuk ion fosfat (PO43-). Ion Fosfat terdapat dalam bebatuan. Adanya peristiwa erosi dan pelapukan menyebabkan fosfat terbawa menuju sungai hingga laut membentuk sedimen. Adanya pergerakan dasar bumi menyebabkan sedimen yang mengandung fosfat muncul ke permukaan. Di darat tumbuhan mengambil fosfat yang terlarut dalam air tanah. Herbivora mendapatkan fosfat dari tumbuhan yang dimakannya dan karnivora mendapatkan fosfat dari herbivora yang dimakannya. Seluruh hewan mengeluarkan fosfat melalui urin dan feses. Bakteri dan jamur mengurai bahan-bahan anorganik di dalam tanah lalu melepaskan pospor kemudian diambil oleh tumbuhan.

Ada dua bentuk fosfor yang terdapat di alam, yaitu senyawa fosfat organik (pada tumbuhan dan hewan) dan senyawa fosfat anorganik (pada air dan tanah). Fosfat organik dari hewan dan tumbuhan yang mati diuraikan oleh dekomposer (pengurai) menjadi fosfat anorganik. Fosfat anorganik yang terlarut di air tanah atau air laut akan terkikis dan mengendap di sedimen laut. Oleh karena itu, fosfat banyak terdapat di batu karang dan fosil. Fosfat dari batu dan fosil terkikis dan membentuk fosfat anorganik terlarut di air tanah dan laut. Fosfat anorganik ini kemudian akan diserap oleh akar tumbuhan lagi. Siklus ini berulangterus menerus. Lihat gambar



Gambar : Siklus fosfor

c.2. Siklus belerang (sulfur)

Sebagian besar cadangan sulfur yang ada di alam berada di kulit bumi. Sulfur terdapat dalam bentuk sulfat anorganik. Sulfur direduksi oleh bakteri menjadi sulfida dan kadang terdapat dalam bentuk sulfur dioksida atau hidrogen sulfide (H2S). H2S ini bisa mengakibatkan kematian bagi mahluk hidup yang berada di perairan. Pada umumnya H2S dihasilkan dari penguraian bahan organik yang telah mati. Tumbuhan berklorofil dan sejumlah bakteri dapat menyerap secara langsung senyawa sulfur dalam bentuk larutan (SOP42-) atau gas. Namun senyawa sulfur dalam kadar tinggi (di atas 0,3 ppm) yang masuk melalui pori-pori daun dalam waktu relatif lama dapat merusak struktur daun, karena suasana lembab di dalam daun akan membentuk asam sulfat.

Perpindahan sulfat terjadi melalui proses rantai makanan, lalu semua mahluk hidup mati dan komponen organiknya akan diuraikan oleh bakteri. Beberapa jenis bakteri yang terlibat dalam siklus sulfur, antara lain Desulfomaculum dan Desulfibrio yang akan mereduksi sulfat menjadi sulfida dalam bentuk hidrogen sulfida (H2S). Kemudian H2S digunakan oleh bakteri fotoautotrof anaerob (seperti Chromatium) untuk melepaskan sulfur dan oksigen. Sulfur dioksidasi menjadi sulfat oleh bakteri kemolitotrof seperti Thiobacillus. Lihat gambar

Gambar : Siklus sulfur








III. PEMBAHASAN

Siklus biogeokimia yang terjadi secara tidak seimbang dapat menimbulkan akibat-akibat yang merusak lingkungan sehingga berdampak pada kehidupan organisme, termasuk manusia. Hal ini dapat terjadi akibat kegiatan manusia, atau faktor alam seperti bencana alam.

Masalah yang sering terjadi dalam siklus hidrologi saat ini adalah banjir dan kekeringan. Mengenai banjir, terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. Salah satunya adalah karena curah hujan yang tinggi. Ini merupakan penyebab alami yang terjadi tanpa dapat diatur secara langsung oleh manusia. Namun, ini dapat terjadi akibat perubahan iklim (climate change) yang merupakan akumulasi hasil negatif dari aktivitas manusia. Dalam hal ini, aktivitas manusia yang mungkin menjadi penyebab adalah pendirian industri yang tidak ramah lingkungan dengan emisi CO2, peningkatan penggunaan kendaraan bermotor, penggunaan AC yang menghasilkan CFC, dan lain-lain. Ini menghasilkan pemanasan global (global warming). Pemanasan global yang terjadi menimbulkan pencairan es di kutub sehingga permukaan air laut meningkat. Meskipun dapat menimbulkan banjir secara tidak langsung, peningkatan permukaan air laut ini juga memberikan dampak secara langsung berupa banjir rob. Salah satu contoh banjir yang cukup ekstrim adalah banjir di Australia beberapa waktu yang lalu. Salah satunya adalah di Negara Bagian Queensland. Banjir mencapai ketinggian 1,5 meter. Bahkan pada bagian sungainya, mencapai ketinggian 5 meter. Bahkan dalam banjir yang disebabkan oleh cuaca ekstrim ini, terdapat buaya dan hiu yang berkeliaran. Ini sudah menjadi suatu masalah yang besar. (Anonim, 2011)

Mengenai kekeringan, masalah ini sering terjadi di Pulau Jawa, terutama saat musim kemarau. Jumlah wilayah yang menderita kekeringan dari tahun ke tahun terlihat semakin meningkat dan meluas. Hal ini diakibatkan tidak hanya oleh rusaknya lingkungan di daerah tangkapan air, akan tetapi juga diakibatkan oleh pesatnya pembangunan fisik serta rendahnya tingkat kesadaran masyarakat dalam penggunaan air yang tidak diikuti dengan upaya menjaga dan melestarikan sumber daya air.

Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika, setidaknya terdapat 30 kabupaten yang mengalami kesulitan air dan tergolong parah yaitu 13 kabupaten di provinsi Jawa Timur, 12 kabupaten di Jawa Tengah, 3 di Jawa Barat, 2 di Daerah Istimewa Yogyakarta, dan 2 kabupaten di provinsi Banten. Sedangkan, menurut data BPS tahun 2000, desa yang rawan air bersih meliputi desa-desa di kabupaten Serang, Tangerang, Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu, Cirebon, Garut, Sukabumi, Grobogan, Demak, Blora, Rembang, Brebes, Wonogiri dan Cilacap.


Masalah dalam siklus oksigen juga terjadi akibat pemanasan global. Tingkat oksigen di laut berkurang. Perairan dengan kadar oksigen terlarut yang rendah di Samudera Pasifik dan bagian timur Samudera Atlantik menjadi semakin luas dalam 50 tahun terakhir ini, sejalan dengan meningkatnya temperatur, menurut para ilmuwan Jerman dan AS. Model-model prediksi pemanasan global mengindikasikan bahwa trend ini akan berlanjut karena oksigen di udara lebih susah untuk larut dalam air yang hangat. Ikan-ikan besar, seperti tuna dan marlin, menghindari atau tidak
bisa hidup di perairan yang miskin oksigen.



Dalam siklus nitrogen, masalah yang terjadi dapat terkait dengan tanaman karena ini merupakan salah satu unsur hara yang sangat penting dan diperlukan dalam jumlah besar (makronutrien). Tanaman menyarap unsur ini dalam bentuk ion nitrat (NO3-) dan ion ammonium (NH4+). Unsur ini secara langsung berperan dalam pembentukan protein, memacu pertumbuhan tanaman secara umum terutama pada fase vegetatif, berperan dalam pembentukan klorifil, asam amino, lemak enzim dan persenyawaan lain.

Gejala kekurangan unsur N adalah pertumbuhan tanaman lambat dan kerdil, mula-mula daun menguning dan mengering lalu daun akan rontok dimana daun yang menguning diawali dari daun bagian bawah, lalu disusul daun bagian atas. Di dalam tubuh tanaman nitrogen bersifat dinamis sehingga jika terjadi kekurangan nitrogen pada bagian pucuk, nitrogen yang tersimpan pada daun tua akan dipindahkan ke organ yang lebih muda, dengan demikian pada daun-daun yang lebih tua gejala kekurangan nitrogen akan terlihat lebih awal.

Masalah akibat gangguan dalam siklus N, dapat juga berupa hujan asam dan global warming. Hujan asam adalah suatu bentuk akibat pencemaran udara di mana hujan, salju, maupun kabut yang terjadi mengandung asam akibat terkontaminasi oleh polutan NOx. Keadaan ini dapat merusak tanaman, mencemari sungai dan danau, serta memungkinkan terjadinya kanker kulit jika manusia terpapar langsung. Sementara, pada masalah global warming, bagian dari siklus nitrogen yang dapat menjadi penyebab pemanasan global adalah gas NOx.Akibat lebih lanjut dari pemanasan global sudah dijelaskan pada bagian masalah siklus hidrologi.

Dalam siklus sulfur, masalah juga terjadi pada tumbuhan. Tumbuhan menyerap sulfur dalam bentuk ion sulfat (SO4-2). Karena bermuatan negatif, ion sulfat mudah hilang dari daerah perakaran karena tercuci oleh aliran air, khususnya pada tanah yang berpasir. Maka pemberian yang efektif sulfur diberikan lewat pupuk daun.

Sulfur sangat berperan dalam pembentukan klorofil dan meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan jamur. Sulfur juga membentuk senyawa minyak yang menghasilkan aroma seperti pada jenis bawang dan cabe. Pada tanaman kacang sulfur merangsang pembentukan bintil akar didalam tanah, sulfur berperan untuk menurunkan PH tanah alkali.

Gejala kekurangan sulfur pada tanaman mirip dengan gejala kekurangan nitrogen. Misalnya daun muda berwarna hijau muda hingga kuning merata, tanaman kurus dan kerdil atau perkembangannya sangat lambat.

Masalah yang timbul dalam gangguan siklus sulfur juga dapat berbentuk hujan asam, sama seperti nitrogen. Senyawa sulfur yang menjadi penyebabnya adalah senyawa sulfur dioksida (SO2).

Pada siklus fosfor, masalah yang terjadi juga beraibat pada tumbuhan juga. Fosfor merupakan unsur makro yang menyusun komponen setiap sel hidup. Fosfor dalam tumbuhan sangat membantu pembentukan protein dan mineral yang sangat penting bagi tanaman, merangsang pembentukan bunga, buah, dan biji. Bahkan mampu mempercepat pemasakan buah dan membuat biji lebih berbobot. Bertugas mengedarkan energi keseluruh bagian tanaman, merangsang pertumbuhan dan perkembangan akar.

Gejala kekurangan fosfor pada tanaman mengakibatkan pertumbuhan terhambat atau kerdil dan daun menjadi hijau tua, tanaman tidak menghasilkan bunga dan buah, jika sudah terlanjur berbuah ukuranya kecil, jelek dan cepat matang.

Berdasarkan hal ini, adanya ketidakseimbangan dalam siklus nitrogen, sulfur dan fosfor dapat berimbas pada tumbuhan. Karena tumbuhan merupakan produsen dalam rantai makanan. Dapat diperhitungkan bahwa jika hal ini dibiarkan, keberlangsungan makhluk hidup dapat terancam.





























IV. KESIMPULAN

Siklus biogeokimia adalah aliran ion ataupun molekul dari nutrien yang dipindahkan dari lingkungan ke organisme (komponen hidup) dan dikembalikan lagi ke komponen tak hidup (abiotik). Siklus biogeokimia yang terpenting adalah siklus karbon dan oksigen, siklus nitrogen, dan siklus fosfor.

Keseimbangan siklus ini perlu dijaga. Jika aktivitas manusia tidak memperhatikan lingkungan, keseimbangan unsur dalam siklus akan terganggu sehingga proporsi komponen yang seharusnya menjadi bergeser. Akibat ketidakseimbangan tersebut, terjadi berbagai masalah yang dampaknya tidak hanya berpengaruh terhadap manusia, tetapi juga terhadap lingkungan hidup. Oleh karena itu pemahaman mengenai keseimbangan siklus biogeokimia diperlukan untuk membuat suatu rancangan manajemen lingkungan yang baik, termasuk lingkungan industri.

























V. REKOMENDASI

Permasalahan banjir yang terjadi dalam siklus hidrologi dapat diselesaikan melalui : penjagaan kondisi DAS, Relokasi kawasan kumuh dan pengendalian sampah, Perawatan bangunan pengendali air, penjagaan dan melestarikan vegetasi alami. Menjaga kondisi DAS maksudnya adalah pelestarian daerah sekitar aliran sungai yang bervegetasi alami dari pengundulan hutan, perluasan kota, dan pembukaan lahan untuk kegiatan komersil. Relokasi kawasan kumuh dan pengendalian Sampah yang dimaksudkan adalah penempatan kawasan kumuh yang biasa ada dibantaran sungai ketempat yang tidak menghambat aliran sungai dan peningkatan kedisiplanan masyarakat untuk membuang sampah pada tempat yang tepat. Perawatan bangunan pengendali air adalah pemeliharan bangunan air agar dapat tetap berfungsi dengan baik. Menjaga dan melestarikan vegetasi alami maksudnya adalah menjaga daerah vegetasi alami dalam hal ini catchmant area (daerah tangkapan ) agar tetap dapat berfungsi sebagaimana mestinya.



Untuk penanganan kekeringan itu sendiri dapat diupayakan melalui proses : Pelestarian daerah tangkapan air, Manajemen pengelolaan air. Maksud dari pelestarian daerah tangkapan air adalah menjaga daerah tersebut dari pembukaan lahan untuk kegiatan komersil karena daerah tangkapan tersebut berfungsi sebagai daerah penyimpanan air. Manajemen pengelolaan air maksudnya adalah penggunaan air yang tepat guna untuk kebutuhan makhluk hidup.



Untuk penanganan siklus atmosfer dalam hal ini siklus oksigen, karbon, dan nitrogen adalah pengolahan limbah industri yang benar, pelestarian hutan sebagai paru-paru dunia dan juga sebagai daerah resapan air, penggunaan energi alternatif sebagai pengganti energi fosil dan adanya sebuah regulasi peraturan yang ketat terhadap polusi udara yang dapat timbul dari asap kendaraan bermotor, asap dari konsumen rokok,







VI. DAFTAR PUSTAKA



Anonim. 2011. Hiu Berkeliaran di Banjir Queensland Australia. http://alfredo

electroboy.wordpress.com [26 Februari 2011]

Basukriadi, Adi. 2011. Populasi, Ekosistem, Biosfir. http://staff.ui.ac.id/internal/

131472297/material/EKOSISTEM.pdf[22Februari 2011]

Buchari, dkk. 2001. Kimia Lingkungan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Jakarta.

Jumin, H.B. 2002. Agroekologi Suatu Pendekatan Fisiologis. PT. RajaGrafindo Persada : Jakarta.

Kristanto, Philip. 2004. Ekologi Industri. Penerbit ANDI, Yogyakarta.

Riastuti, Dwi. 2005. Daur Biogeokimia. http://www.freewebs.com/ciget/

daur%20biogeokimia.html [26 Februari 2011]

Posted by

Jumat, 01 Februari 2013

Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi KA dalam Budidaya Ikan Di KJA

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam mendukung usaha pembesaran ikan dalam KJA yang berkelanjutan. Selain memenuhi persyaratan untuk pertumbuhan dan perkembangan ikan yang dipelihara, juga sarana dan prasarana pendukung harus tersedia secara memadai serta sosial ekonomi masyarakat yang kondusif.
Permintaan ikan-ikan karang khususnya kerapu dan lobster terus meningkat seiring dengan semakin membaiknya perekonomian dan meningkatnya minat masyarakat untuk mengkonsumsi ikan-ikan karang. Harga yang cukup tinggi dan akses pasar yang cukup lancar, mendorong usaha penangkapan ikan-ikan karang berkembang demikian pesat. Namun demikian, rendahnya penguasaan teknologi dan sarana penangkapan yang dimiliki nelayan, mengakibatkan hasil tangkapan sangat rendah. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan hasil tangkapan, di antaranya melalui peningkatan intensitas tangkap, penggunaan bahan peledak, racun sianida dan tindakan-tindakan destruktif lainnya. Intensitas penangkapan yang tinggi disertai penggunaan bahan-bahan berbahaya dan beracun, tidak hanya menimbulkan tekanan pada populasi ikan yang terdapat di alam, melainkan juga dapat merusak lingkungan, seperti rusaknya terumbu karang dan padang lamun yang menjadi habitatnya, sehingga kapasitas daya dukung lingkungan menurun.
Berkembangnya usaha pembesaran ikan dalam KJA selain berpengaruh pada aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat, juga berdampak pada aspek lingkungan baik yang bersifat positif maupun negatif, langsung maupun tidak langsung. Walaupun ikan-ikan karang termasuk sumberdaya dapat pulih (renewable resources), tidak berarti bahwa sumberdaya ini dapat dieksploitasi secara berlebihan, apalagi dengan cara-cara yang merusak. Ketika upaya eksploitasi (fishing effort) lebih besar dari pada tangkapan optimum (Maximum Sustainable Yield, MSY), akan terjadi pemanfaatan yang berlebihan (over exploitated). Gejala tangkap lebih (overfishing) yang disertai menurunnya daya dukung lingkungan dapat mengancam kapasitas keberlanjutan ikan-ikan ekonomis dan bahkan dapat terjadi kepunahan. Gejala tangkap lebih umumnya terjadi di wilayah pesisir yang padat penduduknya dengan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya pesisir dan laut.
Kerusakan wilayah pesisir juga dapat disebabkan oleh berbagai aktivitas nelayan maupun proses-proses alamiah baik yang terdapat di lahan atas (upland areas) maupun laut lepas (oceans). Sifat sumberdaya pesisir yang merupakan sumberdaya milik bersama (common proverty resources), aksesnya bebas dan terbuka. Sumberdaya yang terkandung di dalamnya dapat dieksploitasi secara bebas oleh semua orang (open access), sehingga wilayah pesisir sangat rentan dari kerusakan.
Untuk memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut secara optimal dan berkelanjutan, perlu didukung dengan kebijakan yang mampu memperbesar dampak positif dan sekecil mungkin dampak negatif.
Analisis aspek lingkungan usaha pembesaran ikan dalam keramba jaring apung (KJA) bertujuan menganalisis dan mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan yang berperan dalam mendukung usaha pembesaran ikan dalam KJA yang meliputi :
-        Kesesuaian lokasi,
-        Ketersediaan sarana produksi dan pendukung
-        Persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap lingkungan, dan
-        Peluang usaha dan kesempatan kerja yang tersedia sebagai dampak usaha pembesaran ikan dalam KJA.







B.   Tujuan dan Manfaat
1.    Tujuan
         Analisis aspek lingkungan usaha pembesaran ikan dalam keramba jaring apung (KJA) bertujuan menganalisis dan mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan yang berperan dalam mendukung usaha pembesaran ikan dalam KJA meliputi :
·         Kesesuaian lokasi
·         Ketersediaan sarana produksi dan pendukung
·         Persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap lingkungan, dan
·         Peluang usaha dan kesempatan kerja yang tersedia sebagai dampak usaha pembesaran ikan dalam KJA

2.    Manfaat
Hasil analisis ini diharapkan bermanfaat:
·         Sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan investasi, skim kredit, infra struktur, kelembagaan dan hukum serta penelitian dan penyuluhan
·         Bahan acuan bagi masyarakat dan swasta dalam mengembangkan sistem usaha pembesaran ikan dalam KJA yang berkelanjutan
·         Menambah khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengetahui kelayakan suatau perairan untuk budidaya KJA di laut.

BAB II
PEMBAHASAN
Guna memperoleh suatu perairan yang layak untuk kegiatan budidaya KJA di laut memerlukan pemilihan lokasi yang tepat dengan memperhatikan beberapa aspek antara lain :

A.   Aspek Resiko
Adapun faktor-faktor resiko yang harus diperhatikan dalam pemilihan lokasi untuk kegiatan budidaya KJA di lau antara lain:

1.    Faktor Pencemaran
Dalam memilih lokasi yang tepat untuk kegiatan budidaya KJA di laut harus memperhatikan faktor pencemaran baik dari kegiatan budidaya itu sendiri maupun kegiatan lain yang akan menimbulkan pencemaran sehingga akan mengganggu aktifitas budidaya di KJA.
Dalam dunia perikanan, yang dimaksud dengan pencemaran perairan adalah penambahan sesuatu berupa bahan atau energi ke dalam perairan yang menyebabkan perubahan kualitas air sehingga mengurangi atau merusak nilai guna air dan sumber air perairan tersebut.
Bahan pencemar yang biasa masuk kedalam suatu badan perairan pada prinsipnya dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu bahan pencemar yang sulit terurai dan bahan pencemar yang mudah terurai. Contoh bahan pencemar yang sulit terurai berupa persenyawaan logam berat, sianida, DDT atau bahan organik sintetis. Contoh bahan pencemar yang mudah terurai berupa limbah rumah tangga, bakteri, limbah panas atau limbah organik. Kedua jenis bahan pencemar tersebut umumnya disebabkan oleh kegiatan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyebab kedua adalah keadaan alam seperti : banjir atau gunung meletus.
Jika lokasi budidaya mengandung bahan pencemar maka akan berpengaruh terhadap kehidupan ikan yang dipelihara didalam wadah budidaya ikan tersebut.

2.    Faktor Keamanan (savety)
Lokasi budidaya KJA di laut harus terhindar dari hal-hal yang dapat menimbulkan gangguan keamanan baik pencurian maupun gangguan dari hama seperti hama competitor (penyaing), predator (pemangsa), dan perusak yang dapat mengganggu keamanan biota budidaya.
Selain itu lokasi KJA juga harus aman dari kondisi gelombang yang besar karena jika gelombang terlalu besar maka akan menimbulkan kerusakan pada KJA. Lokasi yang memiliki gelombang yang tidak terlalu besar saperti pada daerah teluk.



3.    Arus
Adanya arus di laut disebabkan oleh perbedaan densitas masa air laut, tiupan angin terus menerus diatas permukaan laut dan pasang-surut terutama di daerah pantai (Raharjo dan Sanusi, 1983 dalam Satriadi dan Widada, 2004). Pasang surut juga dapat menggantikan air secara total dan terus menerus sehingga
Arus mempunyai pengaruh positif dan negatif bagi kehidupan biota perairan. Arus dapat menyebabkan ausnya jaringan jazad hidup akibat pengikisan atau teraduknya substrat dasar berlumpur yang berakibat pada kekeruhan sehingga terhambatnya fotosintesa. Pada saat yang lain, manfaat dari arus adalah menyuplai makanan, kelarutan oksigen, penyebaran plankton dan penghilangan CO2 maupun sisa-sisa produk biota laut (Beverige, 1987 ; Romimohtarto, 2003). Kenyataan yang tidak dapat ditoleransi terhadap kuat maupun lemahnya arus akan menghambat kegiatan budidaya laut (Ghufron dan Kordi, 2005). Arus juga sangat penting dalam sirkulasi air, pembawa bahan terlarut dan padatan tersuspensi (Dahuri, 2003), serta dapat berdampak pada keberadaan organisme penempel (Akbar et al, 2001). Kecepatan arus perairan untuk budidaya keramba jaring apung di laut tidak boleh lebih dari 100 cm/detik (Gufron dan Kordi, 2005) dan kecepatan arus bawah 25 cm/dt.

4.    Kedalaman perairan keramba jaring apung
Menurut Wibisono, (2005) menyatakan bahwa kedalaman suatu perairan didasari pada relief dasar dari perairan tersebut. Perairan yang dangkal kecepatan arus relatif cukup besar dibandingkan dengan kecepatan arus pada daerah yang lebih dalam (Odum, 1979). Semakin dangkal perairan semakin dipengaruhi oleh pasang surut, yang mana daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut mempunyai tingkat kekeruhan yang tinggi. Kedalaman perairan berpengaruh terhadap jumlah dan jenis organisme yang mendiaminya, penetrasi cahaya, dan penyebaran plankton. Dalam kegiatan budidaya variabel ini berperanan dalam penentuan instalasi budidaya yang akan dikembangkan dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut.
Kedalaman perairan merupakan faktor yang diperlukan dalam kegiatan baik terhadap organisme yang membutuhkan kedalaman rendah sampai cukup dalam. Beberapa biota seperti rumput laut membutuhkan perairan yang tidak terlalu dalam dibandingkan dengan budidaya ikan kerapu dan tiram mutiara. Ikan kerapu sangat tergantung dari pakan buatan (artificial food), maka untuk menjaga terakumulasinya sisa pakan pada dasar perairan, diharapkan ada perbedaan jarak antara dasar perairan dengan dasar jaring. Akumulasi yang terjadi berupa proses dekomposisi dari sisa pakan yang menghasilkan senyawa organik. Kedalaman yang dianjurkan adalah berkisar 5-25 meter (Deptan, 1992 ; DKP, 2002)

5.    Konflik Kepentingan
Konflik kepentingan. Pemilihan lokasi sebaiknya tidak menimbulkan konflik dengan kepentingan lain. Beberapa kegiatan perikanan (penangkapan ikan, pemasangan bubu, dan bagan) serta kegiatan bukan perikanan (pariwisata, perhubungan laut, industri dan taman laut) dapat dipengaruhi negative terhadap aktifitas budidaya laut.

6.    Dasar Perairan
Kondisi dasar perairan akan sangat berpengaruh terhadap kualitas air
diatasnya. Dasar perairan yang mengalami pelumpuran, bila terjadi gerakan air oleh arus maupun gelombang akan membawa partikel dasar ke permukaan (Upwelling) yang akan menyebabkan kekeruhan, sehingga penetrasi cahaya matahari menjadi berkurang dan partikel lumpur ini berpotensi menutup insang ikan. Arus air sangat membantu pertukaran air dalam keramba, membersihkan timbunan sisa-sisa metabolism ikan dan membawa oksigen terlarut yang dibutuhkan ikan. Sebaliknya apabila kecepatan arus tinggi akan sangat berpotensi merusak konstruksi keramba serta dapat menyebebkan stress pada ikan, selera makan ikan akan berkurang dan energi banyak yang terbuang (Achmad 2008).
Substrat dasar berpengaruh terhadap jenis hewan dasar yang hidup pada daerah tersebut. Kehidupan biota sesuai dengan habitatnya, dimana pada substrat yang keras dihuni oleh hewan yang mampu melekat dan pada substrat yang lunak dihuni oleh organisme yang mampu membuat lubang (Odum, 1979). Substrat dasar suatu lokasi bervariasi dari bebatuan sampai lumpur dapat berpengaruh terhadap instalasi budidaya, pertukaran air, penumpukan hasil metabolisme dan kotoran (Rejeki, 2001).
Menurut Dahuri (2003) mengatakan bahwa substrat juga berperan dalam menjaga stabilitas sedimen yang mencakup perlindungan dari arus air dan tempat pengolahan serta pemasukan nutrien. Jenis dan ukuran substrat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kandungan bahan organik dan distribusi bentos. Semakin halus tekstur tersebut semakin tinggi kemampuan untuk menjebak bahan organik (Nybakken, 1992).
Substrat dasar perairan yang baik untuk lokasi budidaya adalah gugusan wilayah perairan yang sesuai habitat masing- masing organisme. Substrat dasar yang cocok untuk budidaya tiram adalah gugusan terumbu karang atau karang berpasir. Sedangkan untuk ikan kerapu dan rumput laut akan cocok pada substrat berpasir dan pecahan karang (Bakosurtanal, 1996; Radiarta et al, 2003).

7.    Kesesuaian Lingkungan
Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk didalamnya akibat dari kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun pada masa sekarang seperti reklasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan dan akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam Faktor-faktor sosial dan ekonomi secara murni tidak termasuk dalam konsep lahan ini (Harjowigeno dan Widiatmaka 2001).
Kesesuaian lahan adalah kecocokan (adaptability) suatu lahan untuk tipe penggunaan lahan tertentu. Penggunaan lahan secara umum adalah penggolongan penggunaan lahan seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan atau daerah rekreasi. Perkembangan penguasaan dan penggunaan lahan erat kaitannya dengan perkembangan populasi manusia dan tingkat kebudayaannya dalam upaya manusia mempertahankan kehidupannya.
Perubahan penggunaan lahan yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan terganggunya ekosistem di suatu wilayah apalagi bila wilayah tersebut merupakan pulau kecil. Dalam aktivitas budidaya laut istilah kesesuaian lahan dipadankan dengan kesesuaian perairan, secara umum kualitas perairan untuk budidaya laut dan pariwisata dianalisis dengan menggunakan pedoman pada baku mutu air laut yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup melalui SK Menteri Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004, dapat dilihat pada Tabel 1
Tabel 1. Baku Mutu Air Laut untuk Budidaya
No.
Parameter
Satuan
Budidaya Laut
1
Kecerahan
M
Coral:>5a)
mangrove; -
lamun: >3a)
2
Suhu
0C
alami1b)
3
Salinitas
0/00
alami1c)
4
pH
Mg/l
7 – 8,5
5
DO
Mg/l
>5
6
Nitrat
Mg/l
0,008
7
Fosfat
Mg/l
0,015
8
BOD5
Mg/l
20
9
TSS
Mg/l
Coral:>20 e)
mangrove; 80e)
lamun: >20e)








Sumber : Kepmen Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004
Keterangan:
Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat(siang, malam dan musim).
a)    = Diperbolehkanterjadi perubahan sampai dengan < 0,2 satuan pH
b)    = Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman
c)    = Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <20C dari suhu alami
d)    = Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic (lapisan paling atas dari tubuh air yang menerima cukup cahaya untuk fotosintesis)
e)    = Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 10 % konsentrasi rata-rata musiman.
Kesesuaian suatu ruang untuk kegiatan tertentu akan dapat berkurang
bahkan menjadi tidak sesuai jika kemampuan sistem yang ada di dalamnya tidak mampu lagi untuk menanggung bebab kegiatan yang dilakukan diatasnya. Oleh karena setiap sistem miliki ambang batas atau kemampuan mendukung atau daya dukung yang ada di suatu sistem tertentu.

8.    Daya Dukung Lingkungan
Konsep daya dukung perairan telah cukup lama dikenal dan dikembangkan dalam lingkungan budidaya perikanan, seiring dengan peningkatan  pemahaman akan pentingnya pengelolaan lingkungan budidaya untuk menunjang kontinuitas produksi. Dalam perencanaan atau desain suatu sistem produksi budidaya perikanan, nilai daya dukung dimasukan sebagai faktor penting untuk dapat menjamin siklus produksi dalam waktu yang lama (Poernomo 1997).
Pengertian daya dukung lingkungan perairan adalah suatu yang berhubungan erat dengan produktifitas lestari perairan tersebut. Artinya daya dukung lingkungan sebagai nilai mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen (parameter) dalam suatu kesatuan ekosistem (Poernomo 1997). Daya dukung lingkungan hidup merupakan kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain dan keseimbangan antar keduanya (Undang-Undang nomor 32. Tahun 2009). Menurut Clark (1996) daya dukung merupakan konsep yang tepat dalam memanfaatkan sumberdaya secara terbatas. Untuk menentukan batas pembangunan sumberdaya dan kontrol pengembangan yang sangat objektif, digunakan metode analisis daya dukung.
Daya dukung lingkungan perairan untuk menunjang budidaya ikan laut di KJA dan merupakan ukuran kuantitatif yang akan memperlihatkan berapa jumlah ikan pada lokasi budidaya yang boleh dipelihara dalam luasan area yang telah ditentukan tanpa menimbulkan degradasi lingkungan dan ekosistem sekitarnya, Piper et al (1982) diacu dalam Meade (1989) atau jika telah ditentukan banyaknya ikan budidaya dalam satu keramba jaring apung, estimasi ini akan menunjukan berapa unit keramba jaring apung yang boleh dipelihara dalam luasan area yang telah ditentukan. Ha tersebut berlaku juga pada terapan budidaya rumput laut.
Daya dukung lingkungan dibagi menjadi 2, yakni (1) daya dukung ekologis (ecological carring capacity) dan (2) daya dukung ekonomis (economic carring capacity) Scones (1993) diacu dalam Soselisa (2006). Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum organisme pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan dan tanpa terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen. Daya dukung ekologis ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan. Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi (Skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum secara ekonomi.
Dalam hal ini digunakan parameter-perameter kelayakan usaha secara ekonomi. Sistem budidaya yang memperhitungkan ukuran daya dukung lingkungan perairan tempat berlangsungnya kegiatan budidaya dalam menentukan skala usaha/ukuran unit usaha akan dapat menjamin kontinuitas hasil panen. Sistem budidaya model ini sering diperkenalkan sebagai sistem budidaya berkelanjutan Piper et al (1982) diacu dalam Meade (1989). Ketika wilayah (perairan) dimanfaatkan sebagai tempat untuk pembuangan limbah, maka harus ada jaminan bahwa jumlah total dari limbah tersebut tidak boleh melebihi kapasitas daya asimilasinya (assimilative capacity). Dalam hal ini, yang dimaksud dengan daya asimilasi adalah kemampuan sesuatu ekosistem pesisir untuk menerima suatu jumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan dan atau kesehatan yang tidak dapat ditoleransi (Komar 1983).

9.    Produktifitas Perairan
Produktifitas perairan adalah tingkat kesuburan yang dimiliki oleh suatu perairan.  Pada perairan umum ditinjau dari tingkat kesuburannya dapat dikelompokkan menjadi perairan dengan tingkat kesuburan rendah (oligotropik), sedang (mesotropik) dan tinggi (eutropik). Jenis perairan yang sangat baik untuk digunakan dalam budidaya ikan di jaring terapung dengan sistem intensif adalah perairan dengan tingkat kesuburan rendah hingga sedang.Jika perairan dengan tingkat kesuburan tinggi digunakan dalam budidaya ikan di jaring terapung maka hal ini sangat beresiko tinggi karena pada perairan eutropik kandungan oksigen terlarut pada malam hari sangat rendah dan berpengaruh buruk terhadap ikan yang dipelihara dengan kepadatan tinggi.

B.   Faktor Kemudahan
Faktor kemudahan seperti dekat dengan prasarana perhubungan darat, pelelangan ikan (sumber pakan), dan pemasok sarana dan prasarana yang diperlukan (listrik, telpon) serta ketersedian tenaga kerja yang propesional.

C.   Faktor Teknis
Adapun faktor teknis yang harus diperhatikan dalam kegiatan budidaya KJA di danau antara lain:

1.    Cara Pemantauan Kualitas Air
Pemantuan kualitas air dilakukan dengan cara melakukan pengamatan pada lokasi yang akan dipilih dengan cara melakukan pengukuran nilai kualitas air.


2.    Mengidentifikasi Parameter Kualitas Air
Menurut Ismoyo (1994) kualitas air adalah suatu keadaan dan sifat-sifat fisik, kimia dan biologi suatu perairan yang dibandingkan dengan persyaratan untuk keperluan tertentu, seperti kualitas air untuk air minum, pertanian dan perikanan, rumah sakit, industri dan lain sebagainya. Sehingga menjadikan persyaratan kualitas air berbeda-beda sesuai dengan peruntukannya.
Menurut Mc Gauhey (1968) beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kualitas air:
Ø  Tingkat pemanfaatan dari penggunaan air
Ø  Faktor kualitas alami sebelum dimanfaatkan
Ø  Faktor yang menyebabkan kualitas air bervariasi
Ø  Perubahan kualitas air secara alami
Ø  Faktor-faktor khusus yang mempengaruhi kualitas air
Ø  Persyaratan kualitas air dalam penggunaan air
Ø  Pengaruh perubahan dan keefektifan kriteria kualitas air
Ø  Perkembangan teknologi untuk memperbaiki kualitas air
Ø  Kualitas air yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.



a.    Parameter Fisika Air
Parameter fisik dalam kualitas air merupakan parameter yang bersifat fisik, dalam arti dapat dideteksi oleh panca indera manusia yaitu melalui visual, penciuman, peraba dan perasa. Perubahan warna dan peningkatan kekeruhan air dapat diketahui secara visual, sedangkan penciuman dapat mendeteksi adanya perubahan bau pada air serta peraba pada kulit dapat membedakan suhu air, selanjutnya rasa tawar, asin dan lain sebagainya dapat dideteksi oleh lidah (indera perasa). Hasil indikasi dari panca indera ini
hanya dapat dijadikan indikasi awal karena bersifat subyektif, bila diperlukan  untuk menentukan kondisi tertentu, misal kualitas air tersebut telah menurun atau tidak harus dilakukan analisis pemeriksaan air di laboratorium dengan metode analisis yang telah ditentukan.
            Adapun parameter fisika air yang harus diperhatikan dalam memilih lokasi perairan yang layak untuk budidaya KJA di laut antara lain:

Ø  Suhu
Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, letak lintang, ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman dari badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi perairan. Peningkatan suhu udara disekitar perairan mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Selain itu peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti gas-gas O2, CO2, N2, CH4 dan sebagainya (Effendi 2003). Suhu perairan sangat penting didalam memepengaruhi pertumbuhan ikan budidaya. Suhu optimal untuk pertumbuhan kerapu sekitar antara 27-290C (Akbar dan Sudaryanto 2002).
Secara umum suhu perairan nusantara mempunyai perubahan suhu baik harian maupun tahunan, biasanya berkisar antara 27°C – 32ºC dan ini tidak berpengaruh terhadap kegiatan budidaya. Kenaikan suhu mempercepat reaksireaksi kimia, yang menurut hukum Van’t Hoff kenaikan suhu 10ºC akan melipat gandakan kecepatan reaksi (Romimohtarto, 2003). Pada kondisi tertentu, suhu permukaan perairan dapat mencapai 35 ºC atau lebih besar. Akan tetapi ikan biasanya akan berenang menjauhi permukaan perairan (Boyd dan Lichtkoppler, 1982).
Perubahan suhu mempengaruhi tingkat kesesuaian perairan sebagai habitat organisme akuatik, karena itu setiap organisme akuatik mempunyai batas kisaran maksimum dan minimum (Efendi, 2003). Ikan merupakan hewan poikiloterm, yang mana suhu tubuhnya naik turun sesuai dengan suhu lingkungan (Brotowidjoyo et al, 1995), sebab itu semua proses fisiologis ikan dipengaruhi oleh suhu lingkungan (Hoar et al, 1979). Suhu perairan berpengaruh terhadap respon tingkah laku ikan (Bal and Rao, 1984), proses metabolisme, reproduksi (Hutabarat dan Evans, 1985 ; Efendi, 2003), ekskresi amonia (Wheathon et al, 1994) dan resistensi terhadap penyakit (Nabib dan Pasaribu, 1989).
Boyd dan Lichtkoppler (1982) menyatakan bahwa suhu yang optimal bagi pertumbuhan ikan tropis berkisar antara 25°C – 32ºC. Semakin tinggi suhu semakin cepat perairan mengalami kejenuhan akan oksigen yang mendorong terjadinya difusi oksigen dari air ke udara, sehingga konsentrasi oksigen terlarut dalam perairan semakin menurun. Sejalan dengan itu, konsumsi oksigen pada ikan menurun dan berakibat menurunnya metabolisme dan kebutuhan energi. Peningkatan suhu perairan sebesar 10ºC, menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebanyak dua sampai tiga kali lipat. Perubahan suhu juga berakibat pada peningkatan dekomposisi bahanbahan organik oleh mikroba (Effendi, 2003).
Pengaruh suhu secara tidak langsung dapat menentukan stratifikasi massa air, stratifikasi suhu di suatu perairan ditentukan oleh keadaan cuaca dan sifat setiap perairan seperti pergantian pemanasan dan pengadukan, pemasukan atau pengeluaran air, bentuk dan ukuran suatu perairan. Suhu air yang layak untuk budidaya ikan laut adalah 27 – 32 0C (Mayunar et al., 1995; Sumaryanto et al.,2001).
Kenaikan suhu perairan juga menurunkan kelarutan oksigen dalam air, memberikan pengaruh langsung terhadap aktivitas ikan disamping akan menaikkan daya racun suatu polutan terhadap organisme
perairan (Brown dan Gratzek, 1980). Selanjutnya Kinne (1972) menyatakan bahwa suhu air berkisar antara 35 – 40 0C merupakan suhu kritis bagi kehidupan organismen yang dapat menyebabkan kematian.
Di Indonesia, suhu udara rata-rata pada siang hari di berbagai tempat berkisarantara 28,2 0C sampai 34,6 0C dan pada malam hari suhu berkisar antara 12,8 0C sampai 30 0C. Keadaan suhu tersebut tergantung pada ketinggian tempat dari atas permukaan laut.
Suhu air umumnya beberapa derajat lebih rendah dibanding suhu udara disekitarnya. Secara umum, suhu air di perairan Indonesia sangat mendukung bagi pengembangan budidaya perikanan (BPS, 2003; Cholik et al.,2005).

Ø  Salinitas
Salinitas adalah konsentrasi ion yang terdapat diperairan. Salinitas
menggambarkan padatan total di air setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan dengan klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi (Effendi, 2003).
            Sedangkan Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa salinitas adalah berat garam dalam gram per kilogram air laut serta merupakan ukuran keasinan air laut dengan satuan pro mil %0, salinitas merupakan parameter penunjuk jumlah bahan terlarut dalam air. Zat-zat yang terlarut dalam air laut yang membentuk garam adalah:
-        Unsur utama : Khlorida (Cl), Natrium/ Sodium (Na), Oksida Sulfat (SO4) dan Magnesium (Mg).
-       Gas terlarut : gas Karbondioksida (CO2), gas Nitrogen (N2), gas Oksigen (O2).
-       Unsur hara : Silika (Si), Nitrogen (N), Phosphor (P).
-       Unsur runut : Besi (Fe), Mangan (Mn), Timbal (Pb) dan Air Raksa/ Merkuri (Hg).
Menurut Holiday (1967), salinitas mempunyai peranan penting untuk
kelangsungan hidup dan metabolisme ikan, disamping faktor lingkungan maupun faktor genetik spesies ikan tersebut. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran air sungai. Di perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula melakukan pengadukan lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen sampai kira-kira setebal 50-70 meter atau lebih tergantung dari intensitas pengadukan. Lapisan dengan salinitas homogen, maka suhu juga biasanya homogen, selanjutnya pada lapisan bawah terdapat lapisan pekat dengan degradasi densitas yang besar yang menghambat pencampuran antara lapisan atas dengan lapisan bawah (Nontji, 2007).
Salinitas permukaan air laut sangat erat kaitannya dengan proses penguapan dimana garam-Salinitas yang tidak sesuai dapat menghambat perkembangbiakan dan pertumbuhan. Kerang hijau, kerang darah dan tiram adalah jenis-jenis kerang yang hidup di daerah estuaria. Kerapu dan beronang dapat hidup di daerah estuaria maupun daerah terumbu karang. Ikan kakap hidup di perairan pantai dan muara sungai. Pada umumnya salinitas alami perairan terumbu karang di Indonesia 31 psu (Romimohtarto, 1985).
Salinitas air laut bebas mempunyai kisaran 30-36 ppt (Brotowidjoyo et al, 1995). Sedangkan daerah pantai mempunyai variasi salinitas yang lebih besar. Semua organisme dalam perairan dapat hidup pada perairan yang mempunyai perubahan salinitas kecil (Hutabarat dan Evans, 1995).
Toleransi terhadap salinitas tergantung pada umur stadium ikan. Salinitas berpengaruh terhadap reproduksi, distribusi, lama hidup serta orientasi migrasi. Variasi salinitas pada perairan yang jauh dari pantai akan relatif kecil dibandingkan dengan variasi salinitas di dekat pantai, terutama jika pemasukan air air sungai. Perubahan salinitas tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku ikan atau distribusi ikan tetapi pada perubahan sifat kimia air laut (Brotowidjoyo et al, 1995)
Ikan air laut mengatasi kekurangan air dengan mengkonsumsi air laut
sehingga kadar garam dalam cairan tubuh bertambah. Dalam mencegah terjadinya dehidrasi akibat proses ini kelebihan garam harus dibatasi dengan jalan mengekskresi klorida lebih banyak lewat insang dan ekskresi lewat urine yang isotonik (Hoar et al., 1979). Ikan mengatur ion plasmanya agar tekanan osmotic didalam cairan tubuh sebanding dengan kapasitas regulasi.

Ø  Muatan Padatan Tersuspensi (MPT)
Padatan tersuspensi adalah bahan-bahan yang tersuspensi (Ө > 1 μm), yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter pori 0.45 μm. Keberadaan muatan padatan tersuspensi di perairan dapat berupa pasir, lumpur, tanah liat, koloid serta bahan-bahan organik seperti plankton dan organisme lain. ( Effendi, 2003 ; Alaerts dan Santika, 1987 dalam Satriadi dan Widada, 2004). Konsentrasi dan komposisi MPT bervariasi secara temporal dan spatial tergantung pada faktor-faktor fisik yang mempengaruhi distribusi MPT terutama adalah pola sirkulasi air, pengendapan gravitional, deposisi dan resuspensi sedimen. Faktor yang paling dominan dalah sirkulasi air (Chester, 1990 dalam Satriadi dan Widada, 2004). Padatan tersupensi dalam air umumnya diperlukan untuk penentuan produktivitas dan mengetahui norma air yang dimaksud dengan jalan mengukur dengan berbagai periode. Suatu kenaikan mendadak, padatan tersuspensi dapat ditafsir dari erosi tanah akibat hujan (Sastrawijaya, 2000). Pergerakan air berupa arus pasang akan mampu mengaduk sedimen yang ada (Satriadi dan Widada, 2004).



Effendi (2003) melaporkan bahwa muatan padatan tersuspensi bagi  kepentingan perikanan diklasifikasikan sebagai berikut:
Table 2. Kadar Muatan Padatan Tersuspensi dan Pengaruhnya    padaKelangsungan Hidup Ikan.
Nilai (mg/l)
Pengaruh Terhadap Kepentingan Perikanan
< 25

Tidak berpengaruh
25 - 80
Sedikit berpengaruh
81 - 400
Kurang baik bagi kepentingan perikanan
> 400
Tidak baik bagi kepentingan perikanan
Sumber: Alabaster dan Lioyd, 1982

Ø  Intensitas Cahaya dan Kecerahan
Cahaya matahari merupakan sumber energi yang utama bagi kehidupan jasad termasuk kehidupan di perairan karena ikut menentukan produktivitas perairan. Intensitas cahaya matahari merupakan faktor abiotik utama yang sangat menentukan laju produktivitas primer perairan, sebagai sumber energi dalam proses fotosintesis (Boyd, 1982).
Umumnya fotosintesis bertambah sejalan dengan bertambahnya intensitas cahaya sampai pada suatu nilai optimum tertentu (cahaya saturasi), diatas nilai tersebut cahaya merupakan penghambat bagi fotosintesis (cahaya inhibisi). Sedangkan semakin ke dalam perairan intensitas cahaya akan semakin berkurang dan merupakan faktor pembatas sampai pada suatu kedalaman dimana fotosintesis sama dengan respirasi (Cushing, 1975; Mann, 1982; Valiela, 1984; Parson et al.,1984; Neale , 1987). Kedalaman perairan dimana proses fotosintesis sama dengan proses respirasi disebut kedalaman kompensasi. Kedalaman kompensasi biasanya terjadi pada saat cahaya di dalam kolom air hanya tinggal 1 % dari seluruh intensitas cahaya yang mengalami penetrasi dipermukaan air.Kedalaman kompensasi sangat dipengaruhi oleh kekeruhan dan keberadaan awan sehingga berfluktuasi secara harian dan musiman (Effendi, 2003). Cahaya merupakan sumber energi utama dalam ekosistem perairan. Di perairan, cahaya memiliki dua fungsi utama (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi, 2003) antara lain adalah:
-       Memanasi air sehingga terjadi perubahan suhu dan berat jenis (densitas) dan selanjutnya menyebabkan terjadinya percampuran massa dan kimia air. Perubahan suhu juga mempengaruhi tingkat kesesuaian perairan sebagai habitat suatu organisme akuatik, karena setiap organisme akuatik memiliki kisaran suhu minimum dan maksimum bagi kehidupannya.
-       Merupakan sumber energi bagi proses fotosintesis algae dan tumbuhan air. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditemukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter, nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan tersuspensi serta ketelitian seseorang yang melakukan pengukuran. Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah (Effendi, 2003). Untuk budidaya perikanan laut, kecerahan air yang dipersyaratkan adalah > 3 m (KLH, 2004; Akbar 2001).

Ø  Kekeruhan
Kekeruhan merupakan sifat fisik air yang tidak hanya membahayakan ikan tetapi juga menyebabkan air tidak produktif karena menghalangi masuknya sinar matahari untuk fotosintesa. Kekeruhan ini disebabkan air mengandung begitu banyak partikel tersuspensi sehingga merubah bentuk tampilan menjadi berwarna dan kotor. Adapun penyebab kekeruhan ini antara lain meliputi tanah liat, lumpur, bahan-bahan organik yang tersebar secara baik dan partikel-partikel kecil tersuspensi lainnya.
Tingkat kekeruhan air di perairan mempengaruhi tingkat kedalaman pencahayaan matahari, semakin keruh suatu badan air maka semakin menghambat sinar matahari masuk ke dalam air. Pengaruh tingkat pencahayaan matahari sangat besar pada metabolism makhluk hidup dalam air, jika cahaya matahari yang masuk berkurang maka makhluk hidup dalam air terganggu, khususnya makhluk hidup pada kedalaman air tertentu, demikian pula sebaliknya (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005; Alaerts dan Santika, 1987).
Padatan tersuspensi dan kekeruhan memiliki korelasi positif yaitu semakin tinggi nilai padatan tersuspensi maka semakin tinggi pula nilai kekeruhan. Akan tetapi, tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan. Air laut memiliki nilai padatan terlarut yang tinggi, tetapi tidak berarti kekeruhannya tinggi pula (Effendi, 2003). Padatan tersuspensi perairan yang baik untuk usaha budidaya perikanan laut adalah 5 – 25 mg/l (KLH, 2004). Padatan tersuspensi menciptakan resiko tinggi terhadap kehidupan dalam air pada aliran air yang menerima tailings di kawasan dataran rendah. Dalam daftar berikut ini, dapat dilihat bahwa padatan tersuspensi dalam jumlah yang berlebih (diukur sebagai total suspended solids – TSS) memiliki dampak langsung yang berbahaya terhadap kehidupan dan bisa mengakibatkan kerusakan ekologis yang signifikan melalui beberapa mekanisme berikut ini:
-       Abrasi langsung terhadap insang binatang air atau jaringan tipis dari tumbuhan air;
-       Penyumbatan insang ikan atau selaput pernapasan lainnya;
-       Menghambat tumbuhnya/smothering telur atau kurangnya asupan oksigen karena terlapisi oleh padatan;
-       Gangguan terhadap proses makan, termasuk proses mencari mangsa
-       dan menyeleksi makanan (terutama bagi predation dan filter feeding;
-       Gangguanterhadap proses fotosintesis oleh ganggang atau rumput air karena padatan menghalangi sinar yang masuk;
-       Perubahan integritas habitat akibat perubahan ukuran partikel.

Ø  Warna Perairan
Pada umunakan dalam kegiatan budidaya umnya warna perairan yang baik digunakan dalam kegiatan budidaya KJA dilaut adalh perairan yang memiliki warna yang tidak terlalu pekat atau sewajarnya saja (kecokelatan/biru laut)
b.    Parameter Kimia Air
Parameter kimia didefinisikan sebagai sekumpulan bahan/zat kimia yang keberadaannya dalam air mempengaruhi kualitas air seperti :

Ø  DO (Oksigen Terlarut)
Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas bagi kehidupan organisme. Perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat menimbulkan efek langsung yang berakibat pada kematian organisme perairan. Sedangkan pengaruh yang tidak langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan pencemar yang pada akhirnya dapat membahayakan organisme itu sendiri. Hal ini disebabkan oksigen terlarut digunakan untuk proses metabolisme dalam tubuh dan berkembang biak (Rahayu, 1991).
Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan makhluk hidup didalam air maupun hewan teristrial. Penyebab utama berkurangnya oksigen terlarut di dalam air adalah adanya bahan-bahan buangan organik yang banyak mengkonsumsi oksigen sewaktu penguraian berlangsung (Hardjojo dan 0,0-15,0 mg/l (Hadic dan Jatna, 1998).
Konsentrasi oksigen terlarut yang aman bagi kehidupan diperairan
sebaiknya harus diatas titik kritis dan tidak terdapat bahan lain yang bersifat racun, konsentrasi oksigen minimum sebesar 2 mg/l cukup memadai untuk menunjang secara normal komunitas akuatik di periaran (Pescod, 1973). Kandungan oksigen terlarut untuk menunjang usaha budidaya adalah 5 – 8 mg/l (Mayunar et al., 1995; Akbar, 2001).
Pada perairan yang terbuka, oksigen terlarut berada pada kondisi alami, sehingga jarang dijumpai kondisi perairan terbuka yang miskin oksigen
(Brotowidjoyo et al., 1995). Walaupun pada kondisi terbuka, kandungan oksigen perairan tidak sama dan bervariasi berdasarkan siklus, tempat dan musim. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian, musiman, pencampuran masa air, pergerakan masa air, aktifitas fotosintesa, respirasi dan limbah yang masuk ke badan air (Effendi, 2003). Kebutuhan oksigen pada ikan mempunyai dua kepentingan yaitu : kebutuhan lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan konsumtif yang tergantung pada metabolisme ikan (Ghufron dan Kordi, 2005).
Penurunan kadar oksigen terlarut dalam air dapat menghambat aktivitas ikan. Oksigen diperlukan untuk pembakaran dalam tubuh. Kebutuhan akan oksigen antara tiap spesies tidak sama. Hal ini disebabkan adanya perbedaan struktur molekul sel darah ikan yang mempunyai hubungan antara tekanan partial oksigen dalam air dan dengan keseluruhan oksigen dalam sel darah (Brown and Gratzek, 1980).
Variasi oksigen terlarut dalam air biasanya sangat kecil sehingga tidak
menggangu kehidupan ikan (Brotowidjoyo et al, 1995). Keberadaan oksigen di perairan sangat penting terkait dengan berbagai proses kimia biologi perairan. Oksigen diperlukan dalam proses oksidasi berbagai senyawa kimia dan respirasi berbagai organisme perairan (Dahuri et al, 2004). Dalam situasi tertentu ikan akan berenang menjauhi air yang kadar oksigennya rendah, terutama melampaui batas yang diinginkan. Pada prinsipnya insang merupakan organ yang dipergunakan ikan untuk proses respirasi. Insang berfungsi untuk mengekstrak sebagian oksigen dalam air (Brown and Gatzek,
1980). Kemampuan bertahan terhadap perubahan oksigen untuk setiap spesies tidak sama. Beberapa jenis ikan dapat bertahan pada kondisi oksigen yang sangat ekstrim. Hal ini disebabkan beberapa ikan memiliki pernapasan tambahan yang mampu mengambil oksigen langsung dari udara, misalnya, ikan lele (Clarias sp) memiliki arborescent organ, atau jenis ikan blodok (Periopthalmus) yang dapat menggunakan kulitnya (Fujaya, 2004).






Kadar oksigen terlarut dan pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup ikan dalam Effendi (2003) sebagai berikut :
Tabel 3. Kadar Oksigen Terlarut dan Pengaruhnya pada Kelangsungan Hidup Ikan

Kadar Oksigen Terlarut (mg/l)
Pengaruh Terhadap Kelangsungan Hidup Ikan
<03

Hanya sedikit yang bertahan
0.3 – 1.0
Akan menyebabkan kematian pada ikan jika
berlangsung lama.
1.0 – 5.0
Ikan akan hidup pada kisaran ini tetapi pertumbuhannya
akan lambat, bila berlangsung lama.
>5.0
Pada kisaran ini, hampir semua organisme akuatik
menyukainnya.
Sumber : Modifikasi Swingle dalam Boyd, 1988.
Ø  pH
pH merupakan suatu pernyataan dari konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam air, besarannya dinyatakan dalam minus logaritma dari konsentrasi ion H. Besaran pH berkisar antara 0 – 14, nilai pH kurang dari 7 menunjukkan lingkungan yang masam sedangkan nilai diatas 7 menunjukkan lingkungan yang basa, untuk pH =7 disebut sebagai netral (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005). Perairan dengan pH < 4 merupakan perairan yang sangat asam dan dapat menyebabkan kematian makhluk hidup, sedangkan pH > 9,5 merupakan perairan yang sangat basa yang dapat menyebabkan kematian dan mengurangi produktivitas perairan.
Perairan laut maupun pesisir memiliki pH relatif lebih stabil dan berada dalam kisaran yang sempit, biasanya berkisar antara 7,7 – 8,4. pH dipengaruhi oleh kapasitaspenyangga (buffer) yaitu adanya garam-garam karbonat dan bikarbonat yang dikandungnya (Boyd, 1982; Nybakken, 1992).
Pescod (1973) menyatakan bahwa toleransi untuk kehidupan akuatik terhadap pH bergantung kepada banyak faktor meliputi suhu, konsentrasi oksigen terlarut, adanya variasi bermcam-macam anion dan kation, jenis dan daur hidup biota. Perairan basa (7 – 9) merupakan perairan yang produktif dan berperan mendorong proses perubahan bahan organik dalam air menjadi mineral-mineral yang dapat diassimilasi oleh fotoplankton (Suseno, 1974). pH air yang tidak optimal berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangbiakan ikan, menyebabkan tidak efektifnya pemupukan air di kolam dan meningkatkan daya racun hasil metabolisme seperti NH3 dan H2S. pH air berfluktuasi mengikuti kadar CO2 terlarut dan memiliki pola hubungan terbalik, semakin tinggi kandungan CO2 perairan, maka pH akan menurun dan demikian pula sebaliknya. Fluktuasi ini akan berkurang apabila air mengandung garam CaCO3 (Choliketal., 2005).



Ø  Fosfat
Tumbuhan dalam air laut memerlukan N dan P sebagai ion PO4 untuk pertumbuhan yang disebut nutrient atau unsur hara makro (Brotowidjoyo et al., 1995). Kandungan fosfat yang lebih tinggi dari batas toleransi dapat berakibat terhambatnya pertumbuhan. Kandungan fosfat 0,1011 μg/l - 0,1615 μg/l merupakan batas yang layak untuk normalitas kehidupan organisme budidaya. (Winanto, 2000).
Dalam perairan fosfat berbentuk orthofosfat, organofosfat atau senyawa organik dalam bentuk protoplasma, dan polifosfat atau senyawa organik terlarut (Sastrawijaya, 2000). Fosfat dalam bentuk larutan dikenal dengan orthofosfat dan merupakan bentuk fosfat yang digunakan oleh tumbuhan dan fitoplankon. Oleh karena itu, dalam hubungan dengan rantai makanan diperairan ortofosfat terlarut sangat penting (Boyd, 1981).
Fosfat terlarut biasanya dihasilkan oleh masukan bahan organik melalui darat atau juga dari pengikisan batuan fosfor oleh aliran air dan dekomposisi organisme yang sudah mati (Hutagalung dan Rozak, 1997). Seperti variable oksigen dan salinitas, ortofosphat juga berada dalam nilai-nilai yang alami dalam suatu perairan atau biolimited element (Brotowidjoyo et al, 1995).


Ø  Nitrogen
Nitrogen merupakan salah satu unsur penting bagi pertumbuhan organisme dan proses pembentukan protoplasma, serta merupakan salah satu unsur utama pembentukan protein. Diperairan nitrogen biasanya ditemukan dalam bentuk amonia,amonium, nitrit dan nitrat serta beberapa  senyawa nitrogen organik lainnya.
Pada umumnya nitrogen diabsorbsi oleh fitoplankton dalam bentuk nitrat (NO3 – N) dan ammonia (NH3 – N). Fitoplankton lebih banyak menyerap NH3 – N dibandingkan dengan NO3 – N karena lebih banyak dijumpai diperairan baik dala kondisi aerobik maupun anaerobik. Senyawa-senyawa nitrogen ini sangat dipengaruhi oleh kandungan oksigen dalam air, pada saat kandungan oksigen rendah nitrogen berubah menjadi amoniak (NH3) dan saat kandungan oksigen tinggi nitrogen berubah menjadi nitrat (NO3-) (Welch, 1980). Senyawa ammonia, nitrit, nitrat dan bentuk senyawa lainnya berasal dari limbah pertanian, pemukiman dan industri. Secara alami senyawa ammonia di perairan berasal dari hasil metabolisme hewan dan hasil proses dekomposisi bahan organik oleh bakteri. Jika kadar ammonia di perairan terdapat dalam jumlah yang terlalu tinggi (lebih besar dari 1,1 mg/l pada suhu 25 0C dan pH 7,5) dapat diduga adanya pencemaran (Alaerst dan Sartika, 1987).
Sumber ammonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organic (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, juga berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) yang dilakukan oleh mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah ammonifikasi (Effendi, 2003). Nitrit (NO2) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan alami, kadarnya lebih kecil daripada nitrat karena nitrit bersifat tidak stabil jika terdapat oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara ammonia dan nitrat serta antara nitrat dan gas nitrogen yang biasa dikenal dengan proses nitrifikasi dan denitrifikasi (Effendi, 2003).
Nitrat (NO3) adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami. Nitrat merupakan salah satu nutrien senyawa yang penting dalam sintesa protein hewan dan tumbuhan. Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan dapat menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan organisme perairan apabila didukung oleh ketersediaan nutrient (Alaerst dan Sartika, 1987). Konsentrasi ammonia untuk keperluan budidaya laut adalah ” 0,3 mg/l (KLH, 2004). Sedangkan untuk nitrat adalah berkisar antara 0,9 – 3,2 mg/l (KLH, 2004; DKP, 2002).

Ø  Karbondioksida (CO2) Bebas
Karbondioksida bebas merupakan istilah untuk menunjukkan CO2 yang terlarut di dalam air. CO2 yang terdapat dalam perairan alami merupakan hasil proses difusi dari atmosfer, air hujan, dekomposisi bahan organik dan hasil respirasi organisme akuatik. Tingginya kandungan CO2 pada perairan dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan biota perairan. Konsentrasi CO2 bebas 12 mg/l dapat menyebabkan tekanan pada ikan, karena akan menghambat pernafasan dan pertukaran gas. Kandungan CO2 dalam air yang aman tidak boleh melebihi 25 mg/l, sedangkan konsentrasi CO2 lebih dari 100 mg/l akan menyebabkan semua organisme akuatik mengalami kematian (Wardoyo, 1979).

Ø  COD (Chemical Oxygen Demand)
Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa COD (Chemical Oxygen Demand) merupakan suatu uji yang menentukan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bahan oksidan. Uji COD biasanya menghasilkan nilai kebutuhan oksigen yang lebih tinggi dibandingkan uji BOD karena bahan-bahan yang stabil terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dengan uji COD.
Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik yang secara alami dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis yang mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air. Sedangkan nilai COD dapat memberikan indikasi kemungkinan adanya pencemaran limbah industri di dalam perairan (A. Laerst dan Sartika, 1987).

Ø  BOD (Biochemical Oxygen Demand)
BOD (Biochemical Oxygen Demand) atau kebutuhan oksigen menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk memecah atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi oksigen tinggi yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut, maka berarti kandungan bahan-bahan buangan yang membutuhkan oksigen tinggi. Konsumsi oksigen dapat diketahui dengan mengoksidasi air pada suhu 20 0C selama 5 hari, dan nilai BOD yang menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi dapat diketahui dengan menghitung selisih konsentrasi oksigen terlarut sebelum dan sesudah inkubasi (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005).
BOD menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi mikroba aerob yang terdapat pada botol BOD yang diinkubasi pada suhu sekitar 20 0C selama 5 hari dalam keadaan tanpa cahaya (Boyd, 1982).






Berikut akan disajikan derajat pencemaran suatu badan perairan yang dilihat berdasarkan nilai BOD5 (Tabel 4).
Tabel 4. Derajat Pencemaran Berdasarkan Nilai BOD5
Kisaran BOD5 (mg/l)

Kriteria Kualitas Perairan
” 2,9
Tidak tercemar
3,0 – 5,0

Tercemar ringan
5,1 – 14,9

Tercemar sedang
• 15,0
Tercemar berat
Sumber: Lee (1987) dalam Sukardiono (1987).
Tabel 4 menyajikan tingkat pencemaran di badan perairan berdasarkan nilai BOD.Kriteria ini merupakan kriteria untuk organisme budidaya dengan berbagai sistem budidaya.

c.    Parameter Biologi Air
Secara keseluruhan parameter biologi mampu memberikan indikasi apakah kualitas air pada suatu perairan masih baik atau sudah kurang baik, hal ini dinyatakan dalam jumlah dan jenis biota perairan yang masih dapat hidup dalam perairan (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005; Effendi, 2003).
Secara singkat dinyatakan dalam jumlah dan jenis biota perairan yang masih dapat hidup dalam perairan (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005; Effendi, 2003).

Ø  Plankton
Plankton merupakan organisme pelagik yang mengapung atau bergerak mengikuti arus (Bal and Rao, 1984), terdiri atas dua tipe yakni fitoplankton dan zooplankton. Plankton mempunyai peranan penting dalam ekosistem di laut, karena menjadi bahan makanan bagi berbagai jenis hewan laut (Nontji, 1993 ; Nybakken, 1992).
 Menurut Newell and Newell (1963) daur hidupnya plankton digolongkan atas:
-       Holoplankton adalah plankton yang seluruh daur hidupnya bersifat planktonik
-       Meroplankton merupakan organisme akuatik yang sebagian dari daur
hidupnya bersifat planktonik.
Fitoplankton hanya dapat hidup di tempat yang mempunyai sinar yang
cukup, sehingga fitoplankton hanya dijumpai pada lapisan permukaan air atau daerah-daerah yang kaya akan nutrien (Hutabarat dan Evans, 1995). Produktifitas fitoplankton dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara nitrat dan fosfat serta makrophite (Boyd, 1981). Fitoplankton sebagai pakan alami mempunyai peran ganda, yakni berfungsi sebagai penyangga kualitas air dan dasar dalam rantai makanan di perairan atau yang disebut produsen primer (Odum, 1979).
Distribusi fitoplankton menjadi penting karena kemampuan beradaptasi dari jenis-jenis fitoplankton tersebut. Perubahan komposisi jenis dan kepadatan terjadi karena pengaruh faktor-faktor berupa perubahan musim, jumlah konsentrasi cahaya dan temperatur. Perubahan-perubahan kandungan meneral, salinitas, run off, dan aktifitas di darat dapat juga merubah komposisi fitoplankton di laut (Basmi, 2000

Ø  Klorofil-a
Sifat- sifat plankton yaitu memiliki pigmen yang lengkap mulai dari klorofil-a hingga klorofil-c, sehingga kadang diberi nama berdasarkan warnanya. Kesuburan perairan, salah satu indikatornya dinyatakan dalam konsentrasi klorofil-a (Basmi, 2000). Kandungan klorofil-a pada setiap jenis dalam kelas, berbeda berdasarkan kemampuan menyerap dan membiaskan panjang gelombang cahaya yang diterima.
Fitoplankton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil, mampu melaksanakan reaksi fotosintesa menghasilkan senyawa organik. Pigmen klorofil-a merupakan pigmen yang paling besar dan dominan dibandingkan dengan klorofil-b atau klorofil-c. Kandungan klorofil-a berbeda berdasarkan lokasi (Nontji, 2005), dan mempunyai hubungannya positif antara total fitoplankton dan klorofil-a (Akbulut, 2003)



Secara singkat kriteria kualitas air untuk lokasi budidaya ikan dengan sistem keramba jaring apung dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 5. Kriteria Kualitas Air untuk Lokasi Budidaya dengan sistem KJA Parameter yang Diukur Kisaran Nilai

Parameter Yang Diukur
Kisaran Nilai
Arus
20 – 30 cm/det
Suhu
25 – 32 0C (untuk wilayah
tropis)
Kecerahan
>3 m
Salinitas
28 – 32 ppt
DO
5 – 10 mg/l
Ph
7,0 – 8,5
Nitrogen
< 0,5 mg/l
Posfat
10 – 110 mg/l

Sumber : Bambang dan Tjahjo (1997); Suwandana (1996) dalam Prasetyawati(2001).

Tabel 5 menampilkan parameter kunci yang dianggap paling berpengaruh dalam keberlanjutan usaha budidaya sistem keramba jarring apung.

d.    Produktivitas Primer Perairan
Produktivitas merupakan daya produksi bahan organik oleh organisme produsen. Produktivitas primer atau dasar dari suatu ekosistem adalah laju perubahan energi matahari menjadi bentuk senyawa-senyawa organik yang dapat digunakan sebagai bahan pangan (Odum, 1996 :54). Sedangkan Menurut Watzel dan Linkens (2000), produktivitas adalah semua yang menyangkut tentang jumlah kenaikna pertumbuhan dari semua hal yang berhubungan dengan specimen atau bagian dari populasi. Pengukuran produktivitas primer dalam suatu perairan digunakan sebagai salah satu cara mengetahui tingkat kesuburan perairan, karena produktivitas primer fitoplankton menggambarkan masukan terbesar materi organik baru keperairan, menunjukkan tersedianya nutrisi bagi pertumbuhan fitoplankton (Wetzel, 2001 :  376). Pengukuran produktivitas primer dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti metode harvest, metode botol gelap-terang, metode klorofil dan metode fiksasicarbon-14 (Michael, 1984 : 235-238).
Menurut Odum (1996 : 55), produktivitas primer dibagi menjadi dua tahapan yaitu produktivitas primer kotor dan produktivitas primer bersih. Produktivitas primer bersih yaitu laju total dari fotosintsis, termasuk bahan organik yang habis digunakan pada proses respirasi selama masa pengukuran. Hal ini dikenal juga sebagai fotosintesi total. Produktivitas primer bersih yaitu laju penyimpanan kelebuhan bahan organik pada tubuh organisme dari penggunaan respirasi oleh organisme selama jangka waktu pengukuran.
Produktivitas primer diestimasi sebagai jumlah karbon yang terrdapat di dalam material hidup dan secara umum dinyatakan sebagai jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam 1 meter kuadrat kolom air per hari (g C/m2/hari atau jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kubik per hari (g C/m3/hari) (Levinton, 1982; Tubalawony, 2007:7). Selain jumlah karbon yang dihasilkan, tinggi rendahnya produktivitas primer perairan dapat dilakukan dengan melakukan pengukuran terhadap biomassa fitoplankton dan konsentrasi klorofil-a  (Valiela, 1984; Tubalawony, 2007: 7).
            Cahaya yang berasal dari matahari penting untuk kehidupan mahkluk hidup, hampir semua energi yang menggerakkan dan mengontrol metabolisme di perairan berasal dari energi matahari yang dikonversi secara biokimia melalui proses fotosintesis menjadi energi kimia potensial. Laju fotosintesis akan tinggi bila intensitas cahaya tinggi dan akan menurun bila intensitas cahaya menurun. Oleh karena itu cahaya berperan sebagai faktor pembatas utama dalam fotosintesis atau produktifitas primer yang dilakukan oleh fitoplankton. Dalam rantai makanan di perairan, kehidupan fitoplanton dipengaruhi oleh biota lannya seperti zooplankton (Manurung, 1992).











BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A.   Kesimpulan
Adapun kesimpulan kami mengenai pemilihan lokasi perairan yang layak untuk kegiatan budidaya KJA di laut adalah:
Dalam memilih lokasi KJA di laut tidak terlepas dari  beberapa aspek yang meliputi :
-       Aspek resiko yang meliputi pencemaran, keamanan (savety), arus, kedalaman perairan,  konflik kepentingan, dasar perairan, kesesuaian lingkungan, daya dukung lingkungan, dan produktifitas perairan.
-       Aspek kemudahan yang meliputi kemudahan transportasi dan komunikasi, kemudahan memperoleh benih dan pakan, dekat dengan saran pemasaran, dan ketersediaan tenaga kerja yang propesional.
-       Aspek teknis seeperti parameter-parameter kualitas air

B.   Saran
Dalam memilih lokasi KJA di laut harus benar-benar memperhatikan faktor resiko kemudahan, dan teknis. Selain itu kita juga harus memperhatikan jenis biota yang akan dibudidayakan dan menyesuaikannya dengan kondisi lingkungan yang telah disurvey apakah telah sesuai dengan kondisi yang diinginkan oleh biota tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Basmi, J. 2000. Planktonologi : Plankton Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan. Makalah, Fakultas Perikanan Instistut Pertanian Bogor, Bogor.

Bambang dan Tjahjo (1997); Suwandana (1996) dalam Prasetyawati(2001). Indikator Kualitas Air, Kanisius. Yogyakarta.

Boyd, C.E., 1979. Water Quality in Warm water Fish Ponds. Auburn. University. Alabama.USA.

Effendie. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Kanisius. Jogjakarta

-------------,1979 Metodologi Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri
Herper,b. and Y Prugnin. 1984. Commercial Fish Farming, With The Special Reference To Fish Culture In Israel. Jhon Wiley and sons. New York

Karyawan parangin Angin.2008. Modul Pembesaran Ikan. PPPTK pertanian Cianjur

M. Ghufra H. 2007. Pengelolaan Kualitas Air Dalam Budidaya Perairan, Bhnineka Cipta.

Poernomo A.1997. Peranan Tata Ruang, Desain Interior Kawasan Pesisir Dan PengelolaannyaTerhadap Kelestarian Budidaya Tambak. Dalam majalah Techner, No 29, tahun VIJakarta

www.damandiri.or.id/file/pramahartamiipbbab2.pdf ( Akses: 15-08-2009).
http://www.deptan.go.id, Maret 2001.
Agoes. E. R. 2001. Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Laut Perspektif Hukum Laut. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Akbar, S dan Sudaryanto. (2001). Pembenihan dan Pembesaran Kerapu Bebek. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta.

Akbulut, A. 2003. The Relationship Between Phytoplantonic Organisms and Chlorophyll a in Sultan Sazligi. Journal. Hacettepe University.

American Public Healt Association (APHA). 1976. Standard Methods for the Examination of Water and Waste Water. 14 th edition, Washington D.C

APHA, AWWA, WPCF. 1989. Standar Methods. For The Examination of Water and Waste Water. L. S. Clesceri., A. E. Greenberg, R. R. Trussel (ed). 17 th Edition, Washington D.C.

Bakosurtanal. 1996. Pengembangan Prototipe Wilayah Pesisir dan Marin Kupang-Nusa Tenggara Timur. Pusat Bina Aplikasi Inderaja dan Sistem Informasi Geografis, Cibinong.

BAPEDAL. 1996. Buku Panduan Penyusunan Amdal Kegiatan Pembangunan di Wilayah Pesisir dan Laut. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Jakarta.

Bappeda NTT, 2004. Draf Zonasi Teluk Kupang. Kerjasama Bappeda NTT dan Jurusan Perikanan, Fak. Pertanian Univ. Nusa Cendana, Kupang. Basmi, J. 2000. Planktonologi : Plankton Sebagai Bioindikator Kualitas

Perairan. Makalah, Fakultas Perikanan Instistut Pertanian Bogor, Bogor. 1999. Ekosistem Perairan : Habitat dan Biota. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Instistut Pertanian Bogor, Bogor.

Beveridge. M. 1987. Cage Aquaculture. Fishing News Books Ltd, Farnhan Surrey.

Biro Pertanian, Perikanan dan Kelautan. 1999. Pedoman Perencanaan dan Pengembangan. Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir di Indonesia. Badan Perencanan Pembangunan Nasional, Jakarta.

Black, J. A. 1986. Oceans and Coastal : An Introduction to Oceanography. W. M. Brown Publisher, IOWA.

Boyd, C.E. 1981. Water Quality in Warm Water Fish Pond. Auburn University, Auburn.

1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Alabama Agriculture Experimental Station. Auburn University, Auburn

Boyd, C. E. And F. Lichtkoppler. 1982. Water Quality Management in Pond Fish Culture. Auburn University, Auburn.

Brotowijoyo, M. D., Dj. Tribawono., E. Mulbyantoro. 1995. Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Penerbit Liberty, Yogyakarta.

Brown. E. E and J. B. Gratzek. 1980. Fish Farming Handbook. AVI Publishing Company INC, New York.

Budiyanto. E. 2005. Pemetaan Kontur dan Pemodelan Spatial 3 Dimensi Surfer. Penerbit Andi, Yogyakarta.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut ; Aset Pembangunan Berkelanjutan. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Dahuri, R., J. Rais., S. P. Ginting., M. J. Sitepu. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Edisi revisi. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Deptan. 1992. Budidaya Beberapa Hasil Laut. Penerbit Badan Pendidikan dan Latihan Pertanian, Jakarta.


Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002. Modul Sosialisasi dan Orientasi Penataan Ruang, Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Jakarta.

. 2004. Modul Sosialisasi dan Orientasi Penataan Ruang, Lau, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Jakarta.

Direktorat Jenderal Perikanan. 1982. Petunjuk Teknis Budidaya Laut. Ditjen Perikanan, Jakarta.

Effendi. H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan : Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.

Ghufron. M, dan H. Kordi. 2005. Budidaya Ikan Laut di Keramba Jaring Apung. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.

Gimin, R. 2001. Peluang dan Hambatan Pengembangan Akuakultur di Propinsi NTT. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Kajian Dosen UPT Perikanan dan Ilmu Kelautan UNDANA, Kupang.

Ghozali. H. I. 2005. Analisis Multivarite dengan Program SPSS. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Hartoko, A., 2000. Teknologi Pemetaan Dinamis Sumberdaya Ikan Pelagis Melalui Analisis Terpadu Karakter Oseanografi dan Data Satelit NOAA, Landsat_TM dan SeaWIFS_GSFC di Perairan Laut Indonesian. Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, Dewan Riset Nasional, Jakarta.

Hartoko, A dan M. Helmi. 2004. Development of Digital Multilayer Ecological Model for Padang Coastal Water (West Sumatera). Journal of Coastal Development. Vol 7.No 3 hal 129-136.

Haumau, S. 2005. Distribusi Spatial Fitoplankton di Perairan Teluk Haria Saparua, Maluku Tengah. Ilmu Kelautan Indonesian Journal Of Marine Science, UNDIP. Vol 10. No 3. hal 126 – 136.

Hoar, W. S., D. J. Randall and J. R. Brett. 1979. Fish Fisiology : Bioenergenetic and Growth. Academic Press, Florida.

Hutabarat, S dan S. M. Evans. 1995. Pengantar Oceanografi. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Hutabarat, S. 2000. Peranan Kondisi Oceanografi terhadap Perubahan Iklim, Produktivitas dan Distribusi Biota Laut. UNDIP, Semarang.

Hutagalung H. P. dan A. Rozak. 1997. Penetuan Kadar Nitrat. Metode Analisis Air Laut , Sedimen dan Biota. H. P Hutagalung, D. Setiapermana dan S. H. Riyono (Editor). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oceanologi. LIPI, Jakarta.

. 1997. Penentuan Kadar Fosfat. Metode Analisis Air Laut , Sedimen dan Biota. H. P Hutagalung, D. Setiapermana dan S. H. Riyono (ed). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oceanologi. LIPI, Jakarta.

Hutahaen, W., S. Wouthuyzen., T. Wenno dan Madasaeni. 1996. Kondisi Oceonagrafi Wilayah Pesisir Kupang dan Sekitarnya. Sam Wouthuyzen (ed). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oceanologi. LIPI, Ambon.

Krenkel. P. A and Novotny. 1980. Water Quality Management. Academi Press. A Subsidiary of Harcourt Brance Javonovich Publishers, New York.

LIPI. 1996. Status Ekosistem Wilayah Pesisir Teluk Kupang dan Sekitarnya. Sam Wouthuyzen (ed). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oceanologi. LIPI, Ambon.

Lee (1987) dalam Sukardiono (1987). Disolved Oksigen Dalam suatu perairan.  Universita Diponegoro, Semarang.

Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Baku Mutu Air Laut. Keputusan Meneg. KLH No 51 tahun 2004, tanggal 8 April 2004, Jakarta.

Meske. C. 1985. Fish Aquaculture Technology and Experiments. First Edition, F. Vogt (ed). Pengamon Press, London.

Meyers. W. L., Ronald and Shelton. 1980. Survey Methods for Ecosystem Management. Departament of Resources Departament. Michigan State University- A Willey- Interscience Publication.

J. Willey and Sons, Michigan. Milne, P. H. 1979. Fish and Shellfish Farming in Coastal Waters. Fishing News Book Ltd, Farnham Surrey.

Muir. J. F and J. M. Kapetsky. 1988. Site Selection Decisions and Project Cost. The Case of Brackish Water Pond System. Aquaculrure Engeneering Technogies for The Future. IChemE Symposium Series No. 111, EFCE Publication Series No 66, Scotland.

Nabib, R dan F. H. Pasaribu. 1989. Patologi dan Penyakit Ikan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Nasution, S. 2001. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.

Naulita, Y. 2001. Karakteristik Massa Air pada Perairan Lintas ARLINDO (The Characteristics of Water Masses in Passage of Indonesian Throughflow). Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Vol 1 No. 4 hal 57 – 74.

Newell, G. E. and R. C. Newell. 1963. Marine Plankton a Practical Quide. 1st Edition. Hutchinson Educational LTD, London.

Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Edisi revisi. Penerbit Djambatan, Jakarta.

Nurdjana, M. L. 2001. Prospek Sea Farming di Indonesia. Teknologi Laut dan Pengembangan Sea farming Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan JICA, Jakarta.

Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut. PT. Gramedia, Jakarta.

Odum, E. P. 1979. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Gadjah Mada University Press. Oreginal English Edition. Fundamental of Ecology Thurd Edition, Yokyakarta.

Pillay, T. V. R. 1990. Quality Criteria for Water. US Enviromental Protection Agency, Washington DC.

Purnomo. A. 1992. Site Selection for Sustainable Coastal Shrimp Ponds. Central Reseach Institute for Fishery. Agency for Agriculture and Development Minstry of Agriculture. Jakarta-Bandung.

Pusat Pengembangan Geologi Bandung. (1996). Survei Tematik Kelautan Terintegrasi dan Inventarisasi Sumberdaya Geologi dan Geofisika Kelautan di Wilayah MCMA Kupang dan Sekitarnya. Pusat Pengembangan Geologi Bandung, Bandung.

Prahasta, E. 2002. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Penerbit Informatika, Bandung.

Radiarta, I. Ny., S. E. Wardoyo., B. Priyono dan O. Praseno. 2003. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Penentuan Lokasi Pengembangan Budidaya Laut di Teluk Ekas, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Pusat Riset Perikanan Budidaya Jakarta. Vol 9 no 1, hal 67 – 71.

Radiarta, I. Ny., A. Saputra., O, Johan. 2005. Pemetaan Kelayakan Lahan untuk Pengembangan Usaha Budidaya Laut dengan Aplikasi Inderaja dan Sistem Informasi Geografis di Perairan Lemito, Propinsi Gorontalo. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, Vol.11 No 1 hal 1-13.

Rejeki, S. 2001. Pengantar Budidaya Perairan. Badan Penerbit UNDIP, Semarang.

Romimohtarto, K dan S. Juwana. 1999. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. LIPI, Jakarta.

Romimohtarto, K. 2003. Kualitas Air dalam Budidaya Laut. www.fao.org/docrep/field/003.

Rosen, B. H. 1990. Microalgae Identification for Aquaculture. 1st Edition, Florida Aqua Farms, Florida.

Sastrawijaya, A. T. 2000. Pencemaran Lingkungan. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Satriadi, A dan S. Widada. 2004. Distribusi Muatan Padatan Tersuspensi di Muara Sungai Bodri, Kabupaten Kendal. Jurnal Ilmu Kelautan UNDIP. Vol 9 (2) hal 101 – 107.

Shephered, J and N. Bromage. 1988. Intensive Fish Farming. BSP Profesional Books Oxford London. Edinburgh, Boston Palo Alio Melbourne.

Sidjabat. M. M. 1976. Pengantar Oceanografi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Soderberg, R. W. 1995. Flowing Water Fish Culture. Lewis Publisher, Florida.

Sudjana. 2002. Teknik Analisis Regresi dan Korelasi bagi Para Peneliti. Penerbit Tarsito, Bandung.

Sudjiharno., M. Meiyana., dan S. Akbar. 2001. Pemanfaatan Teknologi Rumput Laut dalam Rangka Intensifikasi Pembudidayaan. Bulleti Budidaya Laut. DKP. Balai Budidaya Laut, Lampung.

Sugandhi, A. 1996. Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Lembaga Penelitian IPB dengan Dirjen Pembangunan Daerah Depdagri dan ADB. Bogor.

Suin, N. M. 1999. Metode Ekologi. Dirjen Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.

Sukandi, M. F, 2002. Peningkatan Teknologi Perikanan ( The Improvement of Fish Culture Technology). Journal Icthyoligi Indonesia. Vol 2 No 2. hal61-66.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Supriyadi. H. I. 1996. Geomorfologi Wilayah Pesisir Kupang dan Sekitarnya. Status Ekosistem Wilayah Pesisir dan Sekitarnya. Sam Wouthuseyzen (ed). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oceanologi. LIPI, Ambon.

Tarunamilia., A. Mustafa dan A. Hanafi. 2001. Penentuan Lokasi Budidaya Keramba Jaring Apung dengan Aplikasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis. (Studi Kasus di Teluk Pare-Pare Sulawesi Selatan).

Penyuting Ahmad. dkk. Teknologi Budidaya Laut Pengembangan Sea Farming Indonesia. DKP dan JICA, Jakarta.

Torres, A. C., L. G. Ross and M. C. M. Beveridge. 1998. The Use Remote Sensing in Water Quality Investigations for Aquaculture and Fisheries. Aquaculrure Engeneering Technogies for The Future. IChemE Symposium Series No. 111, EFCE Publication Series No 66, Scotland.


Utojo, A. Mansyur., Taranamulia., B. Pantjara dan Hasnawai. 2005. Identifikasi Kelayakan Lokasi Budidaya Laut di Perairan Teluk Kupang, Nusa Tenggara Timur. Journal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol II. No 5, hal 9-29.

Viyard, W. C. 1979. Diatom of North America. 1st Edition. Mad River Press Eureka, California.

Weathon, F. W., J. N. Hochheimer., G. E. Kaiser., M. J. Krones., G. S. Libey and C. C. Easter. 1994. Nitrification Filter Principles. M. B. Timmons and T. M. Losardo (ed). Aquaculture Water Reuse Systems: Engineering Design and Management. Elsevier Science, Amsterdam.

Wibisono, M. S. 2005. Pengantar Ilmu Kalautan. Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Widodo, J. 2001. Prinsip Dasar Pengembangan Akuakultur dengan Contoh Budidaya Kerapu dan Bandeng di Indonesia. Teknologi Budidaya Laut dan Pengembangan Sea Farming Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan dan JICA. Jakarta hal 17 - 26.

Winanto, Tj. 2004. Memproduksi Benih Tiram Mutiara. Penebar Swadaya, Jakarta.

Wirasatriya. A., dan S. Supriyanto. 2004. Perkembangan Awal Larva Tiram Mutiara (Pintada maxima) pada Tingkat Salinitas yang Berbeda. Indonesia Journal of Marine Science, UNDIP, Semarang. Vol 9. No. 1, hal 14 – 19.

Wouthuyzen, S. 1995. Rangkuman. Status Ekosistem Wilayah Pesisir Teluk Kupang dan Sekitarnya. Sam Wouthuyzen (ed). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oceanologi. LIPI, Ambon.




Yususf. S. A., S. Wouthuyzen dan P. H. Lusykooy., 1995. Plankton dan Kesuburan Perairan di Wilayah Pesisir Kupang dan Sekitarnya. Status Ekosistem Wilayah Peisisr Kupang dan Sekitarnya. Sam Woutthuyzen(ed). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oceanologi. LIPI, Ambon.

Zonneveld. N., E. A. Huisma dan J. H. Boon. 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.